VI
Stasiun
Depok Baru terletak di ketinggian sembilan puluh tiga meter di atas permukaan
laut. Memiliki tiga jalur untuk menampung kereta. Jalur satu digunakan untuk
kereta tujuan Jakarta
atau Jatinegara. Dan jalur tiga digunakan untuk kereta tujuan Bogor atau Depok. Jalur dua digunakan untuk
kereta Pakuan, entah itu melintas langsung, atau berhenti sejenak, itu dulu.
Sekarang jalur dua sudah jarang digunakan. Di sebelah timur stasiun Depok Baru
berbatasan dengan terminal Depok, bergeser sedikit ke selatan dari terminal
Depok, ada pusat perbelanjaan di Depok, ke selatan lagi, ada kantor walikota
Depok. di sebelah barat, adalah kampung Lio.
I’ve build my world around you. And I want you
to know. I need you like I’ve never needed anyone bevore…. I wanna be by your
side, in everything that you do and if there’s only one thing you can believe
it’s true I life my life for you! Masih terdengar jelas di mp3 player Krishna, malam itu. Kini, Krishna
lah yang mencuri-curi pandang menatap Kandita. Apakah benar Kandita juga
mencintainya? Bathin Krishna saat masih
memandangi Kandita yang sedang memilih-milih handphone baru nya. Tidak! Untuk
sementara Krishna akan meninggalkan Kandita
dan beralih ke Tania, paling tidak sampai Tania meninggalkannya.
“Kita makan yuk!” ajak Kandita
setelah selesai membayar handphone barunya.
“Ya, disekitar sini saja ya!
Sudah lapar gue!” canda Krishna.
“Ah, dasar loe Krishna!
gue juga sih!” gurau Kandita.
“Loe sudah bilang nyokap loe ‘kan kalau loe pulang
malam?”
“Sudah lah! Ke bokap gue juga
sudah!”
“Loe nggak niat cari pacar lagi?”
petanyaan Krishna itu mengalir seperti air
yang ada di sungai Ciliwung.
“Pacar?” kenapa Krishna
tiba-tiba menanyakan hal itu? Apakah Krishna akan ‘nembak’ Kandita? Apakah
Krishna akan meminta Kandita untuk menjadi pacarnya?
“Iya, pacar!”
“Kenapa loe kayak gitu? Mau loe
jadi pacar gue?” tantang Kandita, dan kalimat itu juga mengalir dengan
sendirinya.
“Jadi pacar loe?” dan Krishna pun tertawa, sambil meminum teh tawar yang
dipesannya.
“Aduh, loe kalau makan jangan
ketawa begitu!” kata Kandita geram, sambil memberikan selembar tissue untuk
membersihkan dagu Krishna yang terkena noda
makanan.
“Lagian loe lucu juga sih!”
“Nggak ada yang lucu!” tandas Kandita
sambil masih menahan kekesalannya. Andai saja Krishna tidak tertawa dan
mengatakan ‘ya, gue mau!’ maka Kandita akan menerima cinta Krishna
secara langsung, tanpa harus menunggu lagi. Tapi tidak. Krishna
masih belum mengerti, dan menganggap bahwa kata-kata yang keluar dari mulut Kandita
hanya gurauan belaka.
“Kandita, makasih ya!”
“Ya, sama-sama!” kata Kandita.
Stasiun
Depok Baru, malam itu jam delapan, Kandita dan Krishna
mengambil jalan berputar, dari pintu timur, bergerak ke utara, melalui pasar
kemiri, menyeberang rel, dan kemudian kembali ke selatan, lalu masuk melalui
pintu barat. Ada
selembar daun besar, dengan panjang sekitar dua puluh sentimeter, dan lebar
sekitar sembilan sentimeter jatuh tepat di atas kepala Kandita. Gadis itu
mengambilnya dan hendak membuangnya, tapi tangannya tak sanggup. Daun itu jelas
mirip persis dengan daun yang ada di mimpinya, daun dari pohon jati yang
meranggas, tapi Kandita tidak tahu pohon apa itu sebenarnya.
“Ah, ini!” katanya seakan
menemukan sesuatu yang berharga.
“Apa?” heran Krishna.
“Daun!”
“Gue juga tahu itu daun! Tapi itu
daun apa?” tanya Krishna.
“Gue juga nggak tahu! Gue kira
loe tahu!”
“Aduh, Kandita, loe kok begini
banget sih?”
“Nggak! Loe tahu nggak ini daun
apa?” kata Kandita sambil menghentikan langkahnya di jalur dua stasiun Depok.
“Jangan disini! Nanti ada kereta
lewat!”
“Krishna,
disini jalur dua, nggak akan ada kereta yang lewat!”
“Oke, itu daun jati!”
“Kenapa gugur? Apakah pohon jati
itu keracunan?”
“Bukan! Pohon jati itu meranggas
untuk bertahan hidup di musim kemarau!” kata Krishna
menjelaskan.
“Lalu, kenapa dia menggugurkan
daunnya?”
“Sebagai sumber makanan, untuk
kehidupannya!”
“Sejenis pupuk alami begitu?”
“Ya, begitulah! Memang begitu
seharusnya!”
“Apa artinya ini?” gumam Kandita,
tentu saja Krishna tidak mendengarnya, kalau Krishna mendengar, pasti akan
kembali muncul pertanyaan dari Krishna.
Kandita
masih berusaha keras untuk memahami arti mimpinya, dua pohon. Yang satu
menggugurkan daunnya, untuk kelangsungan hidup, yang satu lag mencari sumber
air bawah tanah, dan bibit mawar yang bersemi dibawah pohon itu. Sebenarnya
mudah untuk ditelaah semua arti itu. Tapi tidak semua orang mampu untuk
melakukannya, begitupun Kandita.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di
kamarnya, Kandita masih memandangi daun kering yang dipegangnya, daun yang ada
di mimpinya. Kenapa harus menggugurkan daun untuk bertahan hidup? Apakah itu
yang namanya pengorbanan?
“Mbak, ngapain sih loe?” tanya
Marsha, adiknya yang baru memasuki semester enam kuliahnya.
“Kepo banget loe tanya-tanya!”
tandas Kandita.
“Oh, gitu ya!” ledek Marsha.
Wajahnya tidak jauh berbeda dengan Kandita, rambutnya juga panjang, digerai,
beberapa helai rambut dibiarkan jatuh menutupi keningnya.
“Dik, loe pernah pacaran?” tanya Kandita.
“Lhah, bukannya loe yang
ngelarang gue buat pacaran?” celetuk Marsha.
“Oh, iya!”
“Kenapa loe? Lagi jatuh cinta
ya?” tebak Marsha.
“Haiiiah, loe dik! Belum jadi
sarjana ‘kan?
Nggak usah ngomongin cinta-cintaan deh!” gurau Kandita.
“Kenapa mbak? Memangnya siapa?
Mas Krishna ya?” tanya Marsha.
“Ih, apaan sih loe!” kata Kandita
sambil tertunduk dan tersipu.
“Wah, bener ‘kan!”
“Tapi dia nggak tahu kalau gue suka
sama dia!”
“Terus, loe juga suka bareng ‘kan kalau berangkat
kerja? Kenapa nggak loe dor saja mbak?”
“Nggak gampang!” Kandita lalu
menceritakan kejadian beberapa hari lalu, ketika Krishna menyeka keningnya,
sehingga membuat jantungnya bergolak, lalu di malam hari Krishna
menyentuh bibir Kandita dengan lembut jemari tangannya.
“Ohh, So sweet banget sih mbak!!
Terus loe mau pacaran sama dia?” kata Marsha.
“Mau! Kenapa nggak?”
“Loe mau gue bilang ke dia?”
“Nggak usah! Jangan!” gusar Kandita.
“Wah, bener-bener jatuh cintrong
loe mbak!”
“Ya sudah dari dulu dik!” gumam Kandita.
“Sudah mbak! Cepet-cepet nikah!
Gue mau jadi tante nih!”
“Ngaco loe dhik, gue belum siap
apa-apa!!”
“Loe sudah bisa hamil ‘kan mbak?” selidik
Marsha.
“Sudah!”
“Itu artinya sudah siap untuk
hidup berkeluarga!”
“Terserah apa kata loe deh dik!
Gue ngantuk! Mau tidur!” kata Kandita sambil beranjak mematikan lampu kamarnya,
dan tidur disamping adiknya itu.
Sementara
Krishna masih telfon-telfonan dengan Tania, orang yang sepertinya sudah
dicintainya, orang yang mencuri hatinya di sebuah komunitas softgun.
“Kamu belum tidur?” tanya Krishna.
“Belum! Kamu juga kok belum
tidur?”
“Aku nggak bisa tidur kalau aku
nggak tahu kabar kamu!” mulai gombalnya..
“Ih, nggombal deh!”
“Hm, iya! Kamu sehat-sehat saja ‘kan?”
“Iya, aku sehat-sehat aja! Kamu
kemana saja sih kok udah jarang telefon aku?”
“Maaf ya, aku sibuk banget nih!”
“Sibuk sama kerjaan atau sama
yang lain?”
“Kalau aku sibuk sama yang lain,
untuk apa aku telefon kamu?”
“Begitu ya?”
“Ya, memang begitu!”
“Aku kira kamu udah lupa sama
aku!”
“Gimana bisa aku lupa sama kamu
kalau kamu yang membawa hatiku?” candanya.
Awalnya,
Krishna hanya bercanda, karena menganggap
bahwa Tania memiliki sifat yang sama dengan Tiffany, candaannya itu lebih
menjurus untuk pendekatan. Sudah cukup lama mereka bercanda seperti itu,
kira-kira setengah tahunan, dan Tania sudah cukup bosan dengan keadaan itu, dia
secara terang-terangan menyampaikan isi pesannya kepada Krishna.
“Aku boleh tanya nggak?” kata
Tania.
“Boleh kenapa nggak? Tanya aja!”
“Tentang hubungan kita! Sudah
lama kita begini, apa kita akan lanjut ke jenjeng berikutnya?” ah, Krishna sangat tidak menyangka akan mendapatkan
pertanyaan itu. Sejenak Krishna terdiam, dan.
“Aku belum siap untuk jenjang
selanjutnya! Aku rasa kita belum cukup dekat! Aku saja tidak pernah menyangka
kalau kamu akan menyampaikan pertanyaan ini!” kata Krishna.
“Hm, begitu ya!”
“Tapi jangan khawatir! Satu
ketika, kita akan bisa melangkah ke jenjang berikutnya!”
“Oke! Terima kasih!”
“Ya, maaf!”
“Kamu nggak perlu minta maaf!
Kamu nggak salah kok!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di
hari selasa pagi, seperti biasanya Kandita menunggu keretanya di stasiun
Citayam, kereta commuter line tujuan Tanah Abang, dan dia akan turun di stasiun
Depok, untuk naik kereta yang ada di jalur dua stasiun Depok.
Jalur satu diperhatikan akan segera masuk
KRL commuter line tujuan Manggarai, Sudirman, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung
Bandan, mengakhiri perjalanan di stasiun Jatinegara. Jangan menyeberangi jalur
satu KRL commuter line tujuan Tanah Abang-Jatinegara. KRL Commuter line tujuan Jakarta Kota rangkaiannya
masih tersedia di stasiun Bogor.
Perhatikan kercis dan barang bawaan anda, supaya jangan tertinggal di wilayah
stasiun Citayam, jalur satu KRL Commuter line tujuan Jatinegara.
“Hei, Kandita!” Krishna berteriak
dari tempat yang kemarin, di kereta nomor lima,
pintu ke tiga di sebelah kiri badan kereta. Kandita bergegas menemui Krishna dan masuk kesitu.
“Loe bukannya ngajakin gue bareng
Krish!” gumam Kandita.
“Dari Bojong mah padat! Mendingan
disini!” kata Krishna.
Dan lampu sinyal pun
berwarna hijau, artinya kereta dapat melanjutkan perjalanan ke stasiun
berikutnya. Pancen enak temanten anyar
Lagi nunggu tamu ne bubar Roso ati selak ‘ra sabar Pengen cepet ndang mlebu
kamar lagu itu masih mengalun di mp3 player milik Krishna
yang terkoneksi langsung ke telinganya, kepalanya bergerak seiring alunan music
campur sari itu.
“Loe dengerin apa sih Krish?” tanya Kandita yang
langsung mencabut satu buah speaker kecil yang menyumbat telinga kanan Krishna lalu mendekatkannya di telinganya. Dan dia pun
tertawa.
“Kenapa loe ketawa?” heran Krishna.
“Gue heran aja! Hari gini, masih ada gitu ya
orang kayak loe!”
“Ya masih ada lah, mungkin gue yang terakhir!”
Dalam
sebuah simulasi pembentukan media massa,
seorang dosen melibatkan seluruh mahasiswanya, ada yang bertugas sebagai
penanggungjawab, alias pemimpin redaksi, sekertaris redaksi, staff redaksi dan
reporter. Pak dosen menunjuk seorang mahasiswi untuk menjadi penanggungjawab
dan menentukan media apa yang akan dipilih, kemudian mahasiswi itu diminta
untuk memaparkan programnya kepada seluruh staffnya. Dia akan membuat sebuah
media televise, dan sasarannya adalah anak muda dengan isi seputar fesyen dan
kegiatan anak muda.
‘Barangkali,
perlu diangkat kearifan budaya local dari Indonesia bu!’ Seorang mahasiswa
yang menjadi staff redaksi pun menyampaikan masukannya. Di Indonesia ini sudah
terlalu banyak budaya luar yang masuk, kita sudah terkena model one way simetric. Komunikasi satu arah,
dan itu adalah budaya luar yang masuk ke Indonesia. Banyak yang masuk, tapi tidak ada yang keluar.
Maka dari itu banyak dari anak muda sekarang ini menjadi lupa akan hakikatnya
sebagai manusia Indonesia.
‘Jadi,
menurut anda apa isi yang paling penting untuk di media kita ini?’ tanya bu
pemred. Apakah harus kita masukkan lagu-lagu campur sari, atau degung, atau
mungkin lagu-lagu Papua kita masukkan ke media kita ini?
‘Memang
seharusnya begitu bu!’ kita harus menanamkan kesadaran di benak anak muda kita
bahwa inilah kekayaan bangsa Indonesia,
kearifan lokal yang harus kita jaga dan pelihara. Kalau bukan kita, siapa lagi?
‘Saya
kurang setuju bu!’ kata seorang mahasiswi yang menjadi sekertaris redaksi.
Kalau kita mengangkat semua itu sebagai isi dari media kita, siapa yang akan
menerima? Kita sudah terlanjur seperti ini! Kenapa nggak kita lanjutkan saja!
Yang lalu, biarlah berlalu.
‘Takut
kehilangan pasar?’ seharusnya kita berpegang pada teori jarum suntik! Kalau
kita bisa mempengaruhi masyarakat, kita tidak akan kehilangan pasar. Kita ini
media, kita yang memegang kendali informasi. Kita bisa merusak image kebudayaan
luar, dan mengangkat kebudayaan dan kesenian yang kita miliki. Dari Sabang,
sampai Merauke. Di pulau Jawa, sudah lebih dari sepuluh kesenian. Ronggeng,
Jaipong, Campur Sari, Cianjuran, Tari Bedoyo, Reog, Gambang Kromong, degung,
uyon-uyon, wayang kulit, Yogyakarta, Surakarta, wayang golek, Bandung, Subang,
Bogor! Semua bahkan lebih bagus dan menarik daripada Gangam Style!
Karena
tidak menemukan jalan tengah, pak dosen pun angkat bicara. ‘Sebenarnya ide-ide
kalian bagus!’ masalah pasar, anak muda yang sudah ‘terkontaminasi’ budaya luar
adalah soal tantangan, kalau benar itu terjadi media kita saat ini ditantang
untuk menanggulangi semua itu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kereta
memasuki stasiun Depok, Krishna kembali dapat
merasakannya dari hentakan wessel yang beradu dengan roda kereta. Dan untuk
kedua kalinya, Krishna mendapati Kandita yang
sedang memandangi wajahnya. Dan ketika itu juga mereka kembali bertatapan, tapi
tidak begitu lama, sama seperti kemarin, mereka harus turun dan kembali naik ke
kereta yang ada di jalur dua stasiun Depok.
Pemberangkatan selanjutnya dari jalur dua,
KRL commuter line tujuan Manggarai, Sudirman, Tanah Abang, pemberangkatan pukul
tujuh lewat tujuh menit! jalur satu KRL commuter line tujuan Manggarai,
Sudirman, Tanah Abang, aman silahkan berangkat! Masih tersedia di jalur tiga
KRL commuter line tujuan Jakarta Kota.
Sistem
perjalanan kereta akan terus berjalan jika elemen nya dapat saling bekerjasama
dengan baik. Adapun elemen-elemen dalam sistim itu adalah masinis, kereta,
Kepala Stasiun, Pejabat Pemberangkatan Kereta Api, Kondektur Pemimpin, petugas
wessel, sampai keamanan. Tiap-tiap elemen itu harus dapat bekerjasama dengan
baik, untuk pelayanan yang memuaskan bagi penumpang. Masinis tanpa kereta
adalah bukan masinis. PPKA tanpa kereta adalah bukan PPKA. Begitupun kereta
tanpa masinis hanyalah seonggok besi yang memiliki ruangan untuk penumpang.
Semua
harus pada tempatnya. Tidak mungkin menugaskan masinis lokomotif untuk melayani
rangkaian kereta listrik. Paling tidak, dia harus diberi pelatihan untuk
membawa rangkaian kereta listrik.
“Sudah, loe disini saja!” kata Krishna
sambil menunjukkan tempat dimana Kandita biasa bersandar.
“Oke Krish! Eh, nanti loe pulang tungguin gue
ya!” kata Kandita.
“Ya, gue pasti tungguin!” kata Krishna.
Apakah
ini saatnya? Saat untuk mengungkapkan semua kepada Krishna?
Rasanya tidak! Kandita sudah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa dia akan
menunggu sampai Krishna menyampaikan semuanya.
Dia akan menjadi komunikan! Bukan komunikator. Dia ingin dicintai, bukan
mencintai!
Apakah
yang dirasakan Krishna? Dia masih belum mau
terbuka tentang perasaannya. Dia belum membuka diri terhadap orang lain. di
hatinya masih ada Tania, meski di hati Tania, nama Krishna sudah dalam catatan
hitam, karena Krishna belum berani untuk
melangkah. Dia lebih ingin mencintai daripada dicintai, dan didalam hati Krishna, rasa cintanya kepada Tania belum tumbuh seratus
persen.
Jadi
mereka belum dapat memecahkan masalah masing-masing, bukan karena mereka tidak
mau, tapi karena mereka tidak tahu. Ketidaktahuan ini dikarenakan tidak adanya
komunikasi yang simultan tentang perasaan Krishna
dan Kandita. Kandita, selalu menutupi perasaannya kepada Krishna, sementara Krishna tidak bisa memahami karakteristik komunikatornya.
Krishna tidak bisa memahami isi pesan yang disampaikan oleh Kandita,
dikarenakan Krishna dididik untuk menjadi
komunikator.
Kalau
itu alasannya, seharusnya Krishna bisa
memahami Kandita, karena ketika komunikan menyampaikan umpan balik, komunikator
berubah menjadi komunikan dan komunikan berubah menjadi komunikator.
Satu-satunya alasan kenapa Krishna tidak
membuka dirinya adalah karena masih ada Tania didalam hatinya. Sampai kapan itu
akan terjadi? Sampai Krishna mengetahui kalau di dalam hati Tania sudah tidak
lagi ada namanya.
“Gimana? Masih galau?” tanya Michele ketika Kandita
masuk ke ruang kerjanya.
“Memangnya gue galau?” gurau Kandita.
“Gue kira begitu! Habisnya loe nyanyinya lagu
galau terus!”
“Ah, lebay loe!”
“Nanti siang ikut mbesuk gak loe?”
“Siapa yang sakit?” heran Kandita.
“Istrinya pak Darno!”
“Sakit apa sih?”
“Sakit tua! Kolesterol, darah tinggi! kompilasi
lah!”
“Komplikasi Michele!” kata Kandita sambil
mencubit pipi Michele.
“Aduh, loe ngeselin banget sih!” kelu Michele
sambil bercermin, melihat apakah dandanannya rusak.
“Loe masih cantik kok! Nggak usah takut”
“Hallah, gue sudah tahu kalimat loe!
Ujung-ujungnya pasti jatohin gue!” gumam Michele.
“Ya, memang kenyataanya begitu! Loe cantik, tapi
loe jomblo!”
“Gue single! Nggak jomblo!”
“Yah, terserah loe deh!”
“Nah, loe juga single, mana nggak punya pacar!”
ledek Michele.
“Se nggaknya, gue masih punya gebetan!” gumam Kandita.
“Atau, Michele! Jangan-jangan loe nggak suka cowo lagi?”
“Ih, loe kali tuh! Gue sih masih normal!” kata
Michele.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah
jam lima, sore itu di halte stasiun Sudirman, Krishna masih duduk menunggu Kandita, tidak ada alasan
apa pun, dia hanya ingin menunggu Kandita. Krishna
seperti seorang pria bodoh yang menunggu seorang wanita tanpa tahu dia akan
melakukan apa kepada wanita itu. Krishna tidak
tahu akan berkata apa kepada Kandita.
Semua
karena dia tidak mengerti apa yang disampaikan oleh Kandita kepadanya. Bukan
masalah mengerti atau tidak mengerti. Sebenarnya, seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, masih ada Tania di hati Krishna.
Sepertinya analogi kereta dan stasiun tidak perlu dijelaskan lagi disini. Kalau
Krishna adalah stasiun, sedangkan Kandita dan Tania adalah keretanya.
Saat
ini yang ada di stasiun adalah Tania. Sangat kecil kemungkinannya, bahkan tidak
mungkin bagi Kandita untuk masuk. Karena kalau sampai ada dua kereta di
stasiun, di satu jalur yang sama, bisa menyebabkan sebuah kerusakan pada sistim
perjalanan kereta. Jadi, Kandita harus menunggu sampai Tania benar-benar pergi
meninggalkan Krishna, tapi kapan! Semua akan
ada waktunya, sama seperti hujan orografis.
Ketika
awan yang menggumpal dibawa angin dari Jakarta menuju Bogor, daerah Pondok
Indah, Lenteng Agung, Depok, dan Ciganjur tidak akan mendapatkan hujan. Pada
saat awan yang menggumpal itu ‘menabrak’ deretan pegunungan yang ada di Bogor, maka hujan akan turun di sekitar Bogor, Cilebut, Bojonggede, Citayam,
Cibinong. Sementara Sukabumi, hanya akan kedapatan angin panas dari Bogor, karena tidak ada
hujan lagi untuk dideraikan di Sukabumi.
Begitupun
dengan Krishna. Cinta di dalam hatinya sudah
menggumpal, dan akan dibawa ke pegunungan yang adalah Tania, nanti akan tiba
saatnya Krishna akan menghadapi masalah besar
dari Tania yang membuat krishna harus menumpahkan cintanya kepada Kandita.
Apakah masalah itu? Sepertinya nanti akan diceritakan!
Eits,
Kandita baru turun dari metromini, tepat di halte stasiun Sudirman, sudah jam
setengah delapan malam. Praktis, Krishna sudah menunggu selama seratus lima puluh menit di halte
itu. Menunggu Kandita, berbekal satu keyakinan bahwa Kandita belum pulang.
Kandita
tercekat melihat Krishna yang duduk di halte
itu sambil tersenyum kepadanya. Tidak ada ekspresi kekesalan dari wajah Krishna, hanya senyumnya yang selalu terlukis dibibirnya.
Michele juga sedikit heran melihat tingkah temannya itu, kenapa tiba-tiba Kandita
membatu. Memang, Kandita belum pernah merasakan ketulusan dari lelaki manapun
selain Krishna, yang mau menunggunya di halte
stasiun Sudirman. Matanya tiba-tiba meneteskan beberapa tetas air.
“Loe belum pulang?” tanya Kandita.
“Lhoh, tadi loe minta gue tungguin!” kata Krishna. “Loe kok nangis?” tanya Krishna
sambil menyeka air mata yang membasahi pipi Kandita. Dan lembut jemari tangan Krishna mendarat dengan lembut di wajah Kandita.
“Sudah berapa lama nunggu?”
“Baru sih! Baru dari jam lima!”
kata Krishna sambil tertawa. Dua setengah jam
menunggu Kandita, di halte stasiun Sudirman, ditemani debu dan asap kendaraan
bermotor?
“So sweet banget sih kalian!” kata Michele.
“Oh, iya! Ini Michele! Temen kantor!” Kandita
memperkenalkan temannya itu.
“Sebentar ya, gue mau ke toilet sebentar!” kata
Michele menyampaikan alibinya. Michele pun berlalu. Krishna
dan Kandita lalu berjalan memasuki stasiun.
“Kenapa nggak telefon?” tanya Kandita.
“Nggak punya pulsa!” canda Krishna.
“Loe kenapa sih nangis? Jangan gitu ah! Nanti dikiranya gue ngapa-ngapain loe
lagi!” canda Krishna.
“Iya, gue nggak nangis lagi!” kata Kandita
sambil menyeka sisa sisa air matanya.
“Temen loe pulang naik kereta juga?”
“Sebentar? Loe nggak nanya tadi gue habis dari
mana?”
“Ngapain gue tanya yang tadi-tadi?” ah, jawaban
yang sangat menyentuh hati Kandita.
“Ya, dia pulang ke Depok!” kata Kandita singkat.
“Sudah, yuk! Kereta nya sudah sampai Tanah
Abang!” kata Krishna sambil berjalan masuk. “Oh, iya! Temen loe mana?”
“Dia masih nunggu yang lain katanya!”
“Oh, loe mau nunggu sama di juga?” tanya
Krishna.
“Nggak! Gue ikut loe saja Krish!” jawab Kandita
dengan penuh kepastian.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Loe kenapa mbak?” tanya Marsha saat melihat
ekspresi wajah mbaknya.
“Tahu nggak dik, tadi mbak besuk istrinya atasan mbak!” Kandita pun
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, kepada Marsha, adik perempuannya.
Krishna menunggu di halte stasiun Sudirman selama dua setengah jam.
“So sweet banget! Tapi buat gue itu nggak
berarti apa-apa mbak!”
“Lhoh, kok begitu?”
“Menunggu dua setengah jam, sama menunggu
bertahun-tahun untuk menyatakan cinta, lebih menyiksa mana?”
“Artinya, dia siap menunggu gue dik!”
“Tapi bagus juga! Terus loe nggak cipok dia
mbak?”
“Gila loe dik! Masa gue langsung cipok begitu!
Tekniknya saja belum tahu!”
“Masa sih mbak?” heran Marsha sedikit kagum
ketika tahu bahwa mbaknya belum pernah ciuman di sepanjang usianya.
“Cepetan nikah! Nunggu apa lagi sih?” kata
Marsha.
“Ya, nanti lah! Jangan grusa-grusu begitu!” kata
Kandita.
“Sudah! Terserah loe mbak! Artinya tuh dia cinta
juga sama loe!”
“Pacaran saja belum bener loe mau ngajarin gue!”
Krishna
sedang berada di keadaan galau tingkat lanjut, sudah beberapa kali dia mencoba
menelfon Tania tapi nomor handphone nya selalu tidak aktif, sms, tidak pernah ada jawaban. Dia
belum sempat membuka facebook. Krishna sudah hampir putus asa dengan situasi
tersebut.
Kenapa
tiba-tiba Tania sulit dihubungu? Apa karena aku yang jarang menghubunginya? Apa
handphone nya kecopetan? Atau, atau, atau….. beribu spekulasi muncul di kepala
Krishna saat itu, menghujam bertubi-tubi seperti ribuan penumpang yang
memaksakan diri masuk kedalam rangkaian kereta.
“Krish, sudah tidur?” tanya Kandita di ujung
telefonnya.
“Belum nih! loe belum tidur?”
“Kalau gue sudah tidur, gue gak bakalan telefon
loe Krish!”
“Bener juga sih! Tumben loe telpon gue! Kenapa?”
Tanya Krishna
“Gak kenapa-kenapa sih!”
“Sudah loe istirahat saja! Besok bangun pagi
‘kan?”
“Ya, loe juga ya!” kata Kandita.
“Iya! Nggak mungkin gue nggak tidur!” memangnya
penulis buku Seuntai Harapan Di Ujung
Waktu yang memaksakan diri nggak tidur untuk menentukan ending cerita yang
bagus. Karena ingin mempertemukan Yunita dengan anak perempuannya, si penulis
nggak tidur semalaman.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rabu
pagi, di stasiun Citayam tidak jauh berbeda dengan hari rabu yang biasanya, ramai dengan ribuan penumpang
yang akan berangkat ke kantornya dengan menggunakan kereta listrik. Kebanyakan
penumpang pria berdiri dengan memakai headset, sambil membaca koran. Penumpang
wanita juga memakai headset, sambil memainkan handphone nya masing-masing, kebanyakan
dari mereka memakai masker, selembar kain yang menutupi mulut dan hidung. Tapi
tidak bagi Kandita. Dia ingin menunjukkan kecantikannya ketika Krishna
menatapnya. Dia ingin memberi hadiah kepada Krishna karena Krishna telah
menunggunya selama dua setengah jam, tapi dia bingung, hadiah apakah yang akan
diberikannya? Apakah kecupan hangat di bibirnya, atau ah, didepan ribuan pasang
mata yang ada di rangkaian kereta, rasanya Kandita tidak sanggup. Pelukan
hangat di pagi hari? Apakah bisa? Memandang Krishna saja hatinya berdetak keras
seperti persambungan rel yang dihentak oleh roda besi kereta. Jadi apa?
Jalur satu diperhatikan akan segera masuk KRL commuter line
tujuan Manggarai, Sudirman, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan,
mengakhiri perjalanan di stasiun Jatinegara. Jangan menyeberangi jalur satu KRL
commuter line tujuan Tanah Abang-Jatinegara. KRL Commuter line tujuan Jakarta
Kota rangkaiannya masih tersedia di stasiun Bogor. Perhatikan kercis dan barang
bawaan anda, supaya jangan tertinggal di wilayah stasiun Citayam, jalur satu
KRL Commuter line tujuan Jatinegara.
Seperti biasa, Kandita
bergerak ke peron tengah stasiun Citayam, dan bergerak ke tempat dimana Krishna
biasa memanggilnya. Kereta berhenti, dan membuka pintunya bagi seluruh penumpang.
Kandita kehilangan sesuatu. Teriakan Krishna yang biasa digunakan untuk
memanggilnya. Kandita masuk ke dalam kereta itu dengan penuh kebimbangan,
karena tidak ada suara yang memanggilnya pagi itu. Tidak ada suara ‘Hei, Kandita!’
dari mulut Krishna. Kemanakah sekuntum cinta yang akan ku pupuk?
Kereta berjalan
meninggalkan stasiun Citayam, menuju
stasiun Depok, Kandita sendiri. Dia tidak bisa memandangi wajah Krishna yang
tidak terlalu tampan, tapi penuh dengan ketulusan. Dia masih berharap akan
bertemu dengan Krishna di stasiun Depok. Dia berharap bisa bersandar bersama
dengan Krishna di pintu sebelah kiri rangkaian kereta commuter line tujuan
Jatinegara. Sampai kereta itu berangkat meninggalkan stasiun Depok, Krishna
tetap tidak terlihat. Kandita sudah terlihat cantik pagi itu, lebih cantik dari
hari-hari biasanya, dengan sack dress batik kombinasi warna biru dan hijau, rambutnya
yang panjang dibiarkan digerai ke belakang, sebagian poninya dijepit di
keningnya, dan membiarkan beberapa helai rambut mendarat di wajahnya.
“Krishna, kamu dimana?” tanya Kandita di
telefon.
“Apaan?”
“Lagi dimana?”
“Tadi manggilnya apa?” gurau Krishna.
“Kamu dimana?” tawa Krishna meledak seperti
ranjau laut yang ditabrak kapal selam.
“Kenapa sih?”
“Sejak kapan loe manggil gue pakai aku-kamu?”
“Kamu nggak suka? Ya sudah! Tutup saja
telefonnya!” tantang Kandita.
“Gitu saja ngambek! Memang kenapa?”
“Aku nungguin kamu tahu!”
“Nungguin aku? Untuk apa?” Ah!! Pertanyaan yang
belum saatnya dijawab oleh Kandita.
“Salah ya?” pancing Kandita.
“Bukan begitu! Tapi kok tumben begitu?”
“Tumben?” setiap hari aku nunggu kamu di peron
tengah stasiun Citayam, kamu bilang tumben? Setiap hari aku menunggu kamu
memanggil namaku dari pintu kereta, kamu bilang itu tumben?
“Ah, sudahlah! Lupain saja!” kesal Kandita
sambil menutup telefonnya dan berjalan menuju kantornya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Krishna
masih mengerjakan laporan untuk diberikan kepada atasannya, dia harus
menyelesaikannya siang itu juga, jika tidak dia tidak dapat bonus dari
atasannya. Ada wacana bahwa karena prestasi kerjanya yang cukup tinggi, Krishna
dan Nissa akan disekolahkan jenjang magister di Jepang, tapi masih wacana.
Krishna juga tidak mau berbangga atau menebak-nebak. Dia hanya ingin menjalani
apa yang ada saat ini. Dan saat makan siang bersama Nissa, mereka pun
memperbincangkan hal itu.
“Sebenernya gue mau pak!” tambah Nissa. “Tapi
bokap sama nyokap gue belum tentu ngasih!”
“Gue mah bodo amat bu! Mau dikirim syukur! Gak
dikirim juga gak kenapa-kenapa!”
“Woles banget loe pak!”
“Lagian ngapain coba dibawa ribet? Jalanin aja
apa yang ada!”
“Bener juga sih!”
“Cowo loe ngijinin nggak?”
“Cowo?” kata Nissa sambil tertawa terbahak.
“Cowo dari Hongkong?”
“Oh, cowo loe dari Hongkong?” heran Krishna.
“Gue masih sendiri pak!”
“Goblok banget!” singkat Krishna.
“Maksud loe?” gusar Nissa.
“Cowo sekarang goblok-goblok! Orang secantik loe
masa nggak dinikahin?”
“Berarti loe goblok juga dong pak?”
“Emang gue goblok” gurau Krishna sambil masih
mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
“Cewe loe gimana pak?”
“Gue belum punya! Masih gebetan!”
“Oh, terus loe mau langsung nikah atau pacaran
dulu?”
“Nikah aja langsung! Ngapain pacar-pacaran?”
gumam Krishna.
Waktu
istirahat siang masih tersisa setengah jam. Krishna memanfaatkan waktunya untuk
berkelana di dunia maya, rumah keduanya, teman-teman dari segala penjuru dunia
sebagai hasil dari global society. Dengan adanya internet, atau media baru, seseorang
dapat mengetahui apa yang terjadi di sisi lain bumi, bahkan di luar angkasa
hanya dengan duduk ‘nyantuk’ di depan
komputer atau gadget yang terhubung dengan internet, inilah peradaban global.
Handphone nya bagai buah pengetahuan yang tidak boleh dimakan oleh Adam dan Hawa,
semua informasi secara gamblang terbuka, kecuali informasi-informasi yang
dianggap rahasia oleh sebagian orang. Di tengah-tengah kampung global itu,
Krishna mendapat berita bahwa Tani Andriani sudah bertunangan. Dengan siapa?
Tidak penting dengan siapa. Yang pasti krishna harus mengkonfirmasi kebenaran
beritanya, melakukan chek and recheck, seperti halnya seorang wartawan yang
mendapati sebuah berita.
“Halo, selamat siang!” Tania mengawali
pembicaraan di telefon itu.
“Ya, Tania! Aku mau konfirmasi dong! Status mu
di facebook, kamu yang mengganti!”
“Bener! Aku yang mengganti! Memang kenapa?”
“Wah, selamat ya! Kalau memang benar begitu
kenyataannya, aku nggak akan ganggu kamu lagi!”
“Kamu masih cinta sama aku?”
“Untuk apa? Kalau dengan mencintai kamu aku bisa
memiliki kamu, akan aku lakukan! Aku nggak mungkin mencintai istri orang!
Begitu!”
“Maaf Krishna!”
“Kamu nggak salah! Jangan minta maaf!” canda
Krishna.
Cinta
yang tumbuh di hati Krishna sudah hampir layu. Terlalu cepat menyampaikan pesan
cinta bukanlah hal yang baik, demikian juga jika terlalu lama menyampaikan
pesan cinta bukan hal yang baik.
Sempat
terpikir siapakah orang terdekat yang
tidak dimengertinya, teman dekat yang selalu ada, apakah dia akan menjadikannya
sebagai teman hidup untuk selamanya? Karena hanya dia yang tetap mencintai Krishna,
sekalipun dia tahu bahwa Krishna sudah mencintai orang lain, dia tetap
mencintai Krishna.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Stasiun
Sudirman sore itu jam setengah lima sore, Kandita masih menunggu di entrance,
menunggu Krishna datang dan menyapanya, seperti hari-hari yang lalu. Gadis itu
masih dengan sackdress yang tadi pagi dipakainya, dan potongan rambut juga
belum berubah dari pagi tadi. Dari kejauhan, Kandita sudah dapat melihat
krishna, berjalan cepat menuju entrance, menuju tempatnya.
“Hei, Kandita!” suaranya lembut.
“Krishna!” Kandita sempat tertegun, tidak
mempercayai apa yang dilihatnya.
“Jangan ngelamun!” gumam Krishna.
“Iya!” katanya sambil tersipu.
Kereta
commuter line di jam-jam pulang kerja, masih seperti hari biasanya, ramai,
padat, umpel-umpelan, menjadi tempat bagi Kandita untuk mencari kesempatan untuk
mepet-mepet dengan Krishna, terkadang, dia tak sadar diri telah menggenggam
pinggul Krishna erat-erat. Krishna sudah tidak heran akan keadaan itu, karena
memang hal itu sudah terlalu biasa untuk mereka.
“Krish, aku mau ngomong deh sama kamu!”
“Ngomong apaan?” heran Krishna.
“Aku sayang sama kamu! Aku cinta sama kamu!”
Isi
pesan yang lama dipendam di hati Kandita, sudah diterima oleh Krishna. Kandita
tinggal menunggu feed back dari Krishna. Yang pasti, isi pesan sudah diterima
sebagaimana mestinya dimaksud oleh Kandita.
“Aku juga!” bisik Krishna.
“Terus, kamu nggak minta pacaran sama aku?”
tanya Kandita.
“Nggak! Aku nggak mau pacaran sama kamu! Aku
nggak mau jadi pacar kamu” kata Krishna tegas. Untuk sejenak, Kandita terdiam,
lesu karena menganggap isi pesannya tidak diterima sebagaimana mestinya oleh
Krishna, dia pun melonggarkan genggaman tangannya dari pinggul Krishna, dan
belum sampai tiga menit, kereta saja belum sampai stasiun Manggarai, Krishna
dengan jelas dan tegas berkata.
“Aku mau menikah sama kamu! Aku mau jadi suami
kamu, dan aku mau kamu jadi istriku! Apa kamu mau?” dan tidak ada yang perduli
akan apa yang telah mereka alami di kereta itu. Kereta cinta Krishna dan
Kandita.
“Ya, aku mau!” kata Kandita sambil langsung
memeluk Krishna, dan merasa pelukannya itu dibalas, Kandita meneteskan air mata
di dada Krishna, air mata haru, karena semua sudah terjawab, dia telah
menyelamatkan cinta yang hampir layu.
Dan
inilah arti mimpi Kandita tentang perumpamaan dua pohon besar. Kandita adalah
pohon jati, dan Krishna adalah pohon kayu besi yang ditanam berdampingan.
Semasa pertumbuhannya di musim kemarau, pohon jati menggugurkan daunnya sebagai
sumber makanan, artinya Kandita harus mengorbankan gengsinya untuk tetap
menumbuhkan cinta, sementara pohon kayu besi berusaha untuk mencari sumber air
bawah tanah dengan menyebarkan akarnya, bukan tidak mungkin akarnya akan saling
tertaut menyatu, menubuhkan bibit-bibit mawar yang disebar di bawah pohon itu.
Jadi,
mereka berdua harus bersama-sama merawat dan memelihata benih-benih cinta yang
dipercayakan kepada mereka oleh sang Penabur, oleh sang Pencipta, oleh sang
Penulis, yang menulis tentang kehidupan mereka, meski ini baru di awal.
The End
And The Rose Was Grow With Sacrifice Of The
People Who Want To Be In Love
Yohannes
Fajar Nugroho
25
Maret 2013; 22.28 WKCJ*
(Waktu
KAI Commuter JABODETABEK)
*:Disinkronkan
dengan waktu di stasiun besar Bogor