Sabtu, 11 Oktober 2014

Sekuntum Cinta Di Tengah Dusta (2)

II
            Stasiun Bojonggede masih pada tempatnya yang kemarin, letak geografisnya disebelah selatan stasiun Citayam, dan disebelah utara stasiun Cilebut. Krishna dan Kandita berdiri berdampingan di peron ujung utara yang sudah diperpanjang. Kandita sudah tidak berpura-pura cemburu kepada Tania, karena Krishna sudah mengetahui apa yang dilakukan oleh Kandita. Sejak Sekolah Menengah Atas, semua yang dilakukan Kandita adalah kepura-puraan, kecuali cintanya yang tidak bisa di pura-purakan. Sebenarnya Kandita punya kemampuan untuk memura-murakan cintanya, tapi dia tidak sanggup. Dia tidak sanggup untuk mempermainkan perasaannya akan cinta Krishna yang tulus. Kandita tidak mampu mempermainkan orang yang telah menunggunya selama hampir lebih dari dua setengah jam di halte stasiun Sudirman.
            Kandita benar-benar mencintai Krishna. Perasaan itu timbul karena Kandita sendiri yang memendam perasaan itu dalam hatinya. Setelah perasaan itu dipendam, cukup lama, sampai perasaan itu bertumbuh menjadi sekuncup cinta didalam hatinya. Percuma saja Kandita ingin memotongnya, setelah sekian lama dipendam, cinta itu sudah berubah menjadi sebuah mawar yang sangat disayangkan apabila dipotong. Ada dua cara untuk mengatasi masalah tersebut, diantara hidup dan mati, cara pertama Kandita menerima hasil dari perbuatan memendam perasaannya itu dan atau mencabut dari akarnya, cara kedua ini pasti menyakitkan, karena cinta tersebut sudah menggurita di hatinya, mengakar kuat dan keras. Dia baru menyadari cinta yang benar-benar ada di hatinya itu.
            Di perhatikan, jalur dua dari arah selatan KRL commuter line tujuan Manggarai, Sudirman, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan, Pasar Senen melintas langsung, mengakhiri perjalanan di stasiun Jatinegara, hati-hati jangan menyeberangi jalur satu KRL Commuter Line tujuan Jatinegara pemberangkatan stasiun Bojonggede pukul enam lewat limabelas menit. Untuk KRL Commuter Line tujuan Bogor, rangkaiannya berangkat dari stasiun Citayam. Perhatikan karcis dan barang bawaan anda supaya jangan tertinggal di wilayah stasiun Bojonggede.
            Jalur dua KA delapan tiga tujuh, selesai naik-turun penumpang, terima aspek sinyal hijau aman, silakan berangkat!
            Kandita masih tidak mau melepaskan genggaman tangannya dari telapak tangan tunangannya itu, dia ingin menaruh tasnya di rak yang telah disediakan, tapi tanggung, mereka berdua akan turun di Depok untuk naik kereta commuter yang akan berangkat dari stasiun Depok jam enam lewat tiga puluh sembilan menit, kalau tidak mengalami gangguan. Kalau mengalami gangguan ya mungkin sampai jam tujuh pagi baru berangkat. Tapi pagi itu tidak ada gangguan, jadi mereka naik kereta seperti biasa.
            Seperti biasa, aku diam tak bicara.. lhoh, salah! Seperti biasa, mereka berdua turun di stasiun Depok, lalu naik kereta yang ada di jalur dua, kereta commuter line tujuan Tanah Abang sampai Jatinegara. Di tempat biasa, pintu sebelah kiri, Krishna biasa bersandar di pintu itu, dan Kandita sudah barang tentu berhadapan dengan tunangannya itu sambil mendengarkan lagu dari mp3 player miliknya.
            Dia melihat Krishna yang memejamkan matanya. Kandita tahu, bahwa Krishna tidak sedang tidur meski dia terbiasa tidur dengan berdiri, karena jika Krishna tidur, kepalanya tidak akan bersandar pada pintu kereta. Kandita meraih jemari tangan Krishna, dan didapatinya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, namun di ruangan itu belum ada siapa-siapa. Hanya Krishna, dan Anissa. Krishna baru akan memulai pekerjaannya, Anissa juga melakukan hal yang sama. Teman-temannya sesama RoKer atau Rombongan Kereta masih tertahan di stasiun Pasar Minggu karena ada beberapa penumpang, mereka menyebut diri sebagai atappress. Yang tersengat LAA.
“Temen-temen loe kemana pak?” tanya Nissa.
“Wah, nggak tahu bu!”
“Syahroni, Jamil, Ridwan dan kawan-kawan! Naik kereta juga ‘kan?” heran Nissa.
“Iya, paling-paling kereta bermasalah bu!” mereka masih berbincang, dan tak lama handphone Krishna berbunyi, Ridwan lah yang menelfonnya.
“Yups, kenapa coy?” tanya Krishna.
“Pak, sori nih, gue sama yang lainnya kayaknya terlambat!”
“Emang sudah terlambat loe! Kereta bermasalah?”
“Ada yang kesetrum di Pasar Minggu! Tiga orang!”
“Weits, gila! Banyak banget!”
“Iya, gue juga nggak tahu nih kapan selesainya!”
“Ya sudah loe telefon pak Darman aja coy!”
“Oke pak! Nanti gue telefon!” dan Krishna mengakhiri pembicaraannya.
“Kenapa pak?” heran Nissa.
“Ada yang wafat di Pasar Minggu!” singkat Krishna.
“Terus apa hubungan sama keterlambatan mereka?”
“Wafatnya karena kesetrum pantograph kereta yang mereka naikin!”
“Waw, pantesan aja!”
            Dan mereka kembali kepada pekerjaannya masing-masing. Karena memang hanya itu yang bisa mereka lakukan, paling tidak sampai pak Sudarman keluar dari ruangannya, menatap ruang kerja anak buahnya dan.
“Kemana yang lainnya?”
“Ridwan, Jamil, dan Syahroni terlambat pak! Naik kereta!” kata Anissa gugup. Dan tatapan pak Darman kini diarahkan kepada Krishna.
“Krishna, Nissa! Masuk ke ruangan saya!!” perintah pak Darman singkat, dan langsung dipatuhi oleh kedua bawahannya itu.
“Ada yang bisa kami kerjakan pak?” tanya Krishna setelah dipersilakan duduk oleh atasannya itu.
“Krishna, kapan kamu akan menikah?” tanya pak Darman sambil masih melihat-lihat monitor laptopnya.
“Rencananya tahun depan pak!”
“Nissa, kamu kapan mau menikah?”
“Dua tahun lagi, pak!”
“Kenapa dua tahun lagi?” tanya pak Darman sambil masih melihat-lihat layar monitornya.
“Belum ada yang mau melamar saya!” singkat Nissa.
“Krishna, selama lima bulan, bisa ‘kan kamu berpisah sebentar dengan tunangan kamu?” katanya langsung menatap Krishna dengan dalam. Sejenak, mereka dalam keheningan.
“Apakah ada tugas yang harus saya kerjakan?” tanya Krishna singkat.
“Aneh! Kamu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan? Saya bertanya kamu sanggup atau tidak?”
“Ya, saya sanggup pak!” tapi bagaimana dengan Kandita, mampukah dia menunggu selama lima bulan, menunggu Krishna kembali untuk melamarnya.
“Kamu, Anissa?”
“Ya, saya sanggup!” kata Anissa padat dan jelas.
“Ini surat tugas dari kantor pusat!” kata pak Darman sambil mengambil dua lembar kertas yang baru keluar dari printernya, kemudian menyerahkan kepada Krishna dan Anissa sesuai nama yang tetera di masing-masing surat itu.
“Kantor pusat?” heran Krishna.
“Kalian akan diperbantukan!”
“Diperbantukan?” heran Nissa. Memangnya kami ini guru?
“Ya, Mentawai!”
“Itu bukannya nama kota di Kalimantan pak?”
“Memang kesana kalian akan ditugaskan!” kata pak Darman.
“Sebagai apa pak?” heran Krishna.
“Namanya juga diperbantukan! Kamu harus bisa melakukan apa saja!” jelas pak Darman.
            Mereka berdua tidak mungkin mengingkari janjinya kepada atasan yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri itu. Jadi mereka terima tugas itu dengan kesungguhan hati. Sekalipun, harus meninggalkan tunangannya.
“Kapan kami berangkat pak?” tanya Krishna.
“Lusa! Tiket pesawat sedang dipesan, uang transport kalian akan dikirim ke nomor rekening kalian masing-masing, dan sekarang, kalian boleh pulang! Istirahat yang cukup!”
“Baik pak!” kata mereka taat.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kenapa loe bu?” tanya Krishna setelah melihat Nissa yang sepertinya masih tidak mempercayai apa yang baru dialaminya.
“Gue nggak percaya!”
“Nggak percaya kenapa bu?”
“Gue nggak percaya kalau gue bener-bener bisa ke Kalimantan!”
“Ah, lebay loe! Apa bedanya coba Kalimantan, Jawa, Sumatra, sama Sulawesi? Sama-sama di iklim tropis ‘kan?” kata Krishna sambil meminum air bening yang ada di mejanya.
“Gue bisa ke sungai Kapuas pak!”
“Ya, ya ya! Gue tau loe bu! Lagian sungai Kapuas apa bedanya sih sama sungai Ciliwung?”
            Siang itu, waktu menunjukkan pukul dua belas, Krishna dan Nissa masih berbincang-bincang. Tidak ada sesuatu yang harus mereka kerjakan, karena pak Darman sudah mengalihkan semua tugas mereka kepada teman-temannya.
“Loe sudah makan belom bu?” tanya Krishna.
“Belum! Kenapa? loe mau traktir gue pak?” tanya Nissa.
“Ya sudah yuk! Ron, Jamil, Ridwan; loe gue bungkusin aja ya!”
“Wah, gue nggak usah deh! Jamil sama Roni aja tuh kayaknya!” kata Ridwan.
“Oh, oke lah!”
            Di sebuah kedai mie ayam, Krishna memesan empat porsi untuknya, Nissa, Jamil dan Roni, untuk menambah rasa kebersamaan, Krishna memutuskan untuk melakukan sistim pesan-bawa, singkatnya di bungkus untuk makan di kantor, karena tidak enak juga seorang pria yang sudah bertunangan makan berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan tunangannya.
“Tunangan loe si Martina, rela nggak pak?” tanya Nissa saat menunggu pesanan.
“Kandita! Bukan Martina!” singkat Krishna.
“Eh, iya! Loe sudah bilang ke dia?”
“Belum! Kayaknya gue butuh bantuannya pak Darman deh!”
“Bantuan gimana?”
“Untuk kasih penjelasan ke calon ibu dari anak-anak gue!”
“Hallah, gaya loe pak!”
“Nah, loe kapan?” canda Krishna.
“Nggak tahu lah!”
“Padahal loe tuh cantik, seksi, pinter lagi! Cuman orang goblok yang nggak mau jadian sama loe!” kata Krishna.
“Mulai nggombal nya! Gue bilangin mbak Kandita baru tahu rasa loe!”
“Eh, jangan dong!”
“Kalau cuman orang goblok yang nggak mau jadian sama gue, loe termasuk yang goblok dong pak?” canda Nissa.
“Gimana ya?” kata Krishna sambil terbahak.
“Sudah, bayarnya pakai ini saja!” kata Nissa sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.
“Wah, padahal gue yang harusnya traktir loe-loe pada bu!”
“Sudah! Loe tabung saja buat nikah pak!” gurau Nissa.
“Thank you banget Niss!”
“WOLES!” kebalikannya SELOW artinya SLOW: santai. Halllah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Sore di stasiun Sudirman, waktu menunjukkan jam lima lewat sepuluh menit, Kandita resah menunggu kedatangan tunangannya. Dia belum mau turun ke peron sebelum mendapat kabar dari tunangannya itu, padahal matahari sudah semakin tidak terlihat dari pandangan mata. Berulang kali dia coba menelfon tunangannya, tapi yang mengangkat adalah seorang wanita yang berkata ‘maaf, nomor telefon yang anda tuju sedang berada di luar jangkaun! Silakan coba beberapa saat lagi!’ sudah jam setengah enam, Krishna belum terlihat juga. Dan, yang membuatnya terkejut adalah ketika Krishna berdiri tegak dibelakangnya dengan tatapan yang tidak bisa di eksplanasikan dengan kata.
“Kamu dari mana saja sih?” heran Kandita.
“Maaf! Apakah aku masih bisa memandangi kamu seperti ini?” tanya Krishna datar, dan ternyata dengan kalimat itu membuat Kandita tersentuh dan menitikkan air mata.
“Kenapa nangis? Kereta nya masih lama ‘kan? Aku mau ngobrol sama kamu!” kata Krishna. Nggak biasa-biasanya Krishna bersikap seperti ini, seperti ingin pergi jauh.
“Langsung saja! To the point. Disini!” pinta Kandita.  Krishna menatap dalam kepada Kandita, lalu mengambil selembar kertas, surat tugasnya dan memberikan kepada Kandita.
“Jadi, kamu mau pergi?” tanya Kandita dengan beberapa titik air mata yang sudah hampir jatuh dari wajahnya. Dan benar saja, setetes air mata jatuh membasahi surat tugas itu, jatuh tepat di nama tunangannya, dan merusak komponen tinta yang ada disekitarnya.
“Kenapa harus kamu?” tanya Kandita sambil menyeka air matanya.
“Karena hanya aku yang sanggup!” Krishna mencoba meyakinkan.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya seorang paruh baya yang tiba-tiba ada di dekat mereka. Pak Darman.
“Ya, saya tahu kalian tidak berpacaran! Kalian langsung bertunangan!”
“Pak Darman?” heran Kandita.
“Kalian masih satu tahun lagi ‘kan menikahnya? Lima bulan sih sebentar Kandita!” hibur pak Darman.
“Iya pak!” meski sebenarnya Kandita tidak bisa menerima perkataan pak Darman.
“Besok jam makan siang, datanglah ke kantor kami! Perpisahan!” kata pak Darman singkat.
“Ya, pak! Saya usahakan!” singkat Kandita.
            Kereta commuter line tujuan Bogor, masih ramai seperti biasa. Krishna mengajak Kandita untuk bersandar di pintu sebelah kiri, karena pintu di sebelah kiri tidak akan dibuka, kecuali jika banyak penumpang yang masuk dari stasiun Manggarai. Seperti biasa, Kandita memeluk erat Krishna, seakan tidak ingin kehilangan tunangannya itu.
            Hal terindah bagi Kandita adalah bisa berpelukan dengan tunangannya di kepadatan kereta commuter line, dan lagu When You’re Gone dari Avril Lavigne masih mengalun seiring irama kereta, membuat Kandita terus menerus menitikkan air matanya, dan berkali-kali Kandita menyeka air matanya itu dengan baju yang melekat di dada Krishna.
“Kita makan dimana?”
“Langsung pulang sajalah! Aku nggak laper!”
“Terakhir kamu makan kapan?” tanya Krishna.
“Tadi siang!”
“Tuh, kamu harus makan! Jangan kayak anak kecil gitu lah!”
            Janjine ora tenanan, jebule kriwikan dadi grojokan. Saben-saben dielingke nanging sajake kok anteng wae; pulo-pulo wis bejaku, wis pancen dadi nasibku. Tak suwung marang sliramu, ojo dadi rutiking atimu. Iwak cucut wadahi karung, becik mbacut tinimbang wurung, aduh mas tinimbang wurung. Ning pasar kok tuku cipir, jo samar yen ora tak pikir, aduh dik ojo kuatir. Manuk gagak kok ngaku merak, pancen sengojo pancen dijarak aduh, mas sakit atiku. Ono kadal mangani roti, ndang tak budal, ojo digondeli, aduh dik ojo digondeli.
            Di warung bakso yang letaknya tidak jauh dari stasiun Bojonggede, lagu itu masih bersenandung dari music player milik penjaja bakso itu. Krishna hanya mesam-mesem.
“Kenapa kamu?” heran Kandita.
“Nggak kenapa-kenapa kok!”
“Jadi, besok kamu libur?”
“Pak Darman bilang aku harus istirahat kok!”
“Ya sudah kalau begitu!” kata Kandita yang langsung menyudahi makannya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Sudah jam delapan malam, dan Kandita baru sampai di rumahnya, Krishna sudah mantap untuk pergi, dia ingin berpamitan dengan calon mertuanya, pak Suyatno dan istrinya. sudah layak dan sepantasnyalah Krishna melakukan itu. Kebetulan, pak Yatno baru turun dari tugasnya.
“Tugas apa Krish?” tanya pak Yatno.
“Menyiapkan bakal perusahaan kami pak! Disana akan dibuka cabang baru!”
“Berapa lama?” tanya pak Yatno sambil menghisap dalam rokoknya.
“Lima bulan pak!”
“Ya sudah! Kamu hati-hati! Jaga diri disana, di tanah orang, jangan macam-macam!” katanya sambil membuang abu rokok yang ada di rokoknya.
“Iya, pak!”
“Bapak restui kamu pergi! Kamu sudah bilang orangtuamu belum?” tanya pak Yatno.
“Belum, pak!”
“Belum?” heran pak Yatno. “Mbok yo kamu kasih tahu mereka dulu!”
“Iya, pak! Nanti sampai di rumah, saya akan langsung bilang!”
“Ya sudah! Bapak mau istirahat dulu ya!”
“Iya, pak!” kata Krishna yang masih duduk di sofa yang ada di teras rumah itu. Dia merapatkan duduknya ke Kandita, dan meraih tangan kekasihnya itu dengan lembut.
“Kamu hati-hati ya!” kata Kandita pelan, sangat pelan sampai-sampai Krishna tidak dapat mendengarnya.
“Kenapa?” heran Krishna.
“Iya, kamu hati-hati disana! Jaga diri kamu baik-baik!”
“Kamu juga ya! Aku pasti jaga diri!”
“Ya!”
“Kalau nanti aku pulang, kamu mau jemput aku di bandara?”
“Aku nggak tahu bisa atau nggak!”
“Kok begitu?”
“Kalau tiba-tiba aku ditugaskan keluar seperti kamu ini, bagaimana?”
“Kamu juga harus bisa jaga diri ya!” jawab Krishna sambil mengecup kening Kandita.
“Ya, aku pasti jaga diri baik-baik!” kata Kandita dengan mantap.
            Krishna pun pulang, meninggalkan rumah kekasihnya. Memang berat untuk meninggalkan senyuman Kandita. Tapi tatapan mata Kandita selalu mengisyaratkan kepada Krishna bahwa senyuman itu bukanlah senyuman yang terakhir.
            Waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Krishna baru sampai di rumahnya. Ibu dan bapaknya belum tidur, masih menyaksikan acara kesukaannya di pesawat televise yang ada di ruang tamu rumah itu.
            Krishna memberi salam setelah sebelumnya melepas sepatu dan kaus kakinya, kemudian dia duduk di sofa menghadap kedua orangtuanya.
“Ono opo le?” tanya bapaknya.
“Krishna dikirim ke luar kota, pak! Bu!”
“Berapa lama?” tanya bapaknya.
“Lima bulan, pak!” singkatnya.
“Kemana?”
“Kalimantan!”
“Sama siapa?”
“Teman kantor pak!”
“Kamu sudah bilang Kandita?” tanya bu Suroto.
“Sudah bu!”
“Kamu harus jaga diri baik-baik ya disana!”
“Iya, pak! Krishna akan jaga diri baik-baik!”
“Sudah! Itu saja, kamu istirahat lebih baik! Daripada disini nanti kamu kecapean!” kata bapaknya.
“Iya, pak!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Tiba waktunya acara perpisahan yang direncanakan oleh Pak Darman beserta jajarannya. Melepas Krishna dan Nissa untuk bertugas di Kalimantan. Turut serta di acara siang itu Kandita, tunangan Krishna.
            Awalnya, Kandita menganggap Nissa adalah teman Krishna, tapi ketika dia mendengar bahwa Nissa yang ditugaskan bersama Krishna, kepercayaannya kepada Krishna tiba-tiba menurun, karena Krishna belum pernah menceritakan soal Nissa sebelumnya.
            Apalagi, Krishna dan Nissa sudah sangat dekat. Memang Krishna menganggap teman-teman kantornya adalah saudara-saudaranya. Apalagi Krishna sudah menganggap Nissa sebagai kakak perempuannya. Tapi, bagaimana dengan Nissa? Apakah selama ini gadis itu menganggap Krishna sebagai adik laki-lakinya?
“Oh, ini ya Krish, tunangan loe! Maaf ya kemarin gue nggak bisa datang!”
“Ya, nggak kenapa-kenapa bu!”
“Panggil Nissa aja! Nggak usah pakai ‘bu’ oke!” kata Nissa.
“Oh, iya!”
“Jadi, saya pinjam tunanganmu dulu ya!” canda Nissa. Berani-beraninya kamu. Geram Kandita, tentu saja dalam hatinya. Kalau tidak di kantor Krishna, mungkin Kandita sudah mendamprat habis Nissa dengan logat Surabaya yang masih ada di lidahnya. Tapi pak Darman segera menjawil Nissa dan memanggil anak buahnya itu ke dalam ruangannya.
“Tunangannya Krishna itu belum terlalu kenal sama kamu! Jangan diajak bercanda dulu!” katanya sambil menghela nafas panjang.
“Iya, pak! Saya minta maaf!”
“Jangan ke saya! Ke orangnya langsung!!”
“Oh, iya pak! Terima kasih sudah diingatkan!”
            Dengan penuh rasa penyesalan, Nissa keluar dari ruangan pak Darman. Meski begitu, dia berusaha untuk menutupi perasaannya itu dengan keceriaan yang ada di wajahnya. Mencari Kandita, dan Krishna dia ingin menyampaikan rasa penyesalannya, tapi sepertinya belum ada gunanya.
“Kalau kamu mau, nggak usah pinjam-pinjam segala! Ambil saja dia! Aku sudah nggak butuh!” tukas Kandita kepada Nissa. Dia lalu berlari keluar kantor itu dan langkahnya terhenti ketika dia mendengar Krishna mengokang pelatuk pistol yang dimilikinya dan mengarahkan ke kepalanya sendiri.
“Meski bukan pistol nyata, butir peluru ini akan bersarang di kepalaku, dan mungkin aku akan mati! Aku rasa lebih baik aku mati, jika aku harus hidup tanpa kamu!”
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Kandita sambil menyeka air matanya.
“Karena kamu yang memaksaku untuk mengatakan ini!”
            Dengarkan laguku, isi hatiku. Jangan kau selalu bimbang dan ragu. Ingatlah selalu kata-kataku. Biar aku pergi KU TETAP MILIKMU. Kenapa slalu bimbang dan ragu, jangan kau begitu. Percaya padaku. Pak Darman memang pandai memilih lagu yang tepat untuk perpisahan sepasang kekasih yang sedang mencintai. Karena dulu, dia juga pernah mengalami apa yang dialami oleh bawahannya itu.  
            Kandita masih memandangi Krishna dengan tatapan nanar. Dilihat sekelilingnya, pandangannya mulai kabur, karena air mata yang mulai memenuhi bola matanya. Kali ini dia tidak berpura-pura, dia benar-benar tersinggung akan apa yang dikatakan oleh Nissa.  
“Kandita, ayolah!” pinta Krishna.
“Saya seorang wanita! Dan kamu juga wanita! Bisa kita berbicara sebagai seorang wanita?” pinta Nissa. Tatapan Kandita masih tidak mengenakkan, memandang Nissa sebagai lawannya, sebagai orang yang ingin merebut kekasihnya.
“Ada apa?” tanya Kandita datar.
“Saya minta maaf! Saya hanya bercanda!”
“Lain kali, kalau ingin bercanda kamu harus melihat siapa dan kapan! Saya tunangannya Krishna, dan di saat seperti ini kamu mengeluarkan candaan yang tidak semestinya!”
“Ya, aku minta maaf!” kata Nissa dengan penuh penyesalan.
“Ya sudah!” Kandita berdiri, diikuti oleh Nissa.
“Tolong jaga Krishna! aku harap, kamu bisa selalu mengingatkan dia tentang aku!”
            Aku harap, kamu bisa mengatakan kepadanya bahwa aku disini akan selalu menunggunya. Aku harap, kamu selalu mengatakan kepadanya bahwa aku tunangannya. Bahwa aku adalah calon ibu dari anak-anaknya. Tapi semua akan berdusta, karena cinta itu akan berada di tengah-tengah kedustaan. Apakah cinta itu akan tetap bersemi meski berada di tngah-tengah dusta. Andai cinta itu tetap bersemi, apakah yang dapat membuatnya bertahan. Adakah kesetiaan dan ketulusan saja cukup untuk membuat cinta tetap bersemi dalam lembah yang penuh dengan kemunafikan? Bagaimana jika kemunafikan dan kedustaan itu malah mengalahkan kesetiaan dan ketulusan dalam diri Krishna?
“Ya, aku akan sampaikan semuanya!”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar