I
Sore itu di stasiun Sudirman, matahari mulai
merambat ke arah barat stasiun Sudirman, menelisik setiap sudut stasiun itu.
Jadwal baru, sistim baru, dan tariff baru hari itu baru diberlakukan. Meski
masih banyak penumpang yang belum mengerti tentang hal-hal teknis nya. Setelah
menuai banyak kontroversi penghapusan KRL Ekonomi dari jagad perkeretalistrikan
di JABODETABEK, akhirnya cara itu belum diberlakukan.
Kandita
masih berdiri tegak disamping tunangannya. Rambutnya yang panjang diikat
dibalik pundaknya, kacamata dengan frame warna biru gelap masih melindungi
kedua bola matanya dari debu yang akan dikibaskan oleh kereta, disamping itu,
kacamata itu juga berfungsi untuk membantu pengelihatannya.
“Kamu nanti mau langsung pulang?” tanya Kandita.
“Kenapa memangnya? Kepo banget deh!”
ledek Krishna.
“Kamu begitu ya! Nanti lihatin saja
deh!” tantang Kandita.
“Hm, ngambek?” ledek Krishna lagi. “Kamu
makin cantik kalau lagi ngambek gitu!” gurau Krishna.
“Maksud kamu?”
“Ya, kamu ngambek saja terus biar
kelihatan cantik!”
“Ih, awas lho ya!”
Mereka
tidak memerlukan fase berpacaran, karena menurut Krishna, saat Kandita memproklamirkan
bahwa Krishna adalah pacar barunya, hal itu sudah benar-benar terjadi pada
mereka berdua, dan makan bersama, berangkat bersama adalah fase pacaran, meski
tidak sejati dan sempurna karena belum ada kesepakatan diantara mereka untuk
menjalin cinta.
Pakar-pakar amologi,
sebut saja pakar Komunikasi Amologi menganggap harus ada sebuah instrumen
normatif sebagai materai pengesahan hubungan seorang pria dan wanita yang sudah
lama kenal, apakah itu sahabat, pacar, tunangan, atau hanya sekedar seorang
mahasiswa yang kebetulan mencari buku yang sama dengan apa yang dicari oleh
seorang mahasiswi yang tidak terlalu dikenalnya, tanpa pernah mereka tahu
kenapa bisa mencari buku yang sama.
Sementara
saudara mereka, para pakar amologi praktis, sebut saja praktisi Komunikasi
Amologi menganggap bahwa instumen-instrumen normatif tersebut tidak terlalu
diperlukan dalam sebuah hubungan, karena semakin lama seorang pria mengenal
seorang wanita, mereka akan semakin dekat, dan kedekatan inilah yang membuat
seseorang tidak usah menyampaikan instrument normatifnya, karena semua akan
berjalan selaras sesuai dengan alam.
Jika
memperdebatkan dua hal diatas, sama saja memperdebatkan dua hal yang belum
tentu benar, dan dua hal yang belum tentu salah. Amologi praktis lahir untuk
mengobati sebuah kebingungan bathin Amologi teoritis yang pada waktu itu
Amologi teoritis belum terlalu berkembang, hanya mempelajari cinta secara
universal, tanpa tahu bagaimana cara menyampaikan cinta kepada komunikan, maka
dari masalah itu lahirlah Komunikasi Amologi. Tanpa tahu bagaimana mengatasi
sebab akibat kekalutan seseorang yang sedang jatuh cinta, maka dari masalah ini
lahir psiko-amologi. Tanpa tahu bagaimana cara mengatasi cinta yang timbul di
dalam sebuah masyarakat, dari masalah ini anthropo-amologi dan sosio-amologi
lahir. Tanpa mengetahui bagaimana seseorang melakukan kejahatan karena cinta,
lahirlah krimino-amologi.
Tapi semua ilmu
tersebut tidak dapat mendefinisikan keagungan cinta, karena keagungan cinta itu
terletak pada misteri, jika misteri sudah terpecahkan, musnahlah keagungan
cinta, dan semua itu hanya akan menjadi sebuah anekdot lima huruf, satu kata
CINTA (Cipokan Itu Najis Tapi Asik) eh,
salah ya. Jadi, cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, melainkan untuk
dihayati, dengan hati kita, dirasakan, dinikmati, dan dicintai. Adapun ilmu
cinta, tidak dapat dinalar dengan otak manusia, tapi dirasakan dengan hati yang
tulus dan murni. Ada beberapa cara bagi seseorang untuk mengerti cinta itu;
pertama orang tersebut harus memiliki kemurnian dan ketulusan, yang kedua orang
tersebut harus mau menerima cinta dengan segala kelemahan dan kelebihannya,
dengan indah dan buruknya, meski begitu tidak akan ada yang mampu memahami
keagungan cinta secara bulat, dan utuh. Sekali lagi, ilmu-ilmu diatas membantu
manusia untuk memahami cinta, sekalipun tidak utuh.
“Kita makan di rumah ku ya!” ajak Kandita.
“Siapa yang masak? Kemarin lagipula
sudah makan di rumah kamu ‘kan! Aku nggak enak sama ibu! Punya calon menantu
bisanya hanya numpang makan!”
“Terus kamu maunya bagaimana?”
“Kita beli nasi uduk yang di dekat
stasiun bagaimana?”
“Hm, boleh kok! Aku ke ATM sebentar ya!”
“Ngapain ke ATM!” heran Krishna sambil
meraih tangan Kandita dan menariknya kembali, hingga Kandita hampir menabrak
Krishna.
“Kenapa memangnya??”
“itu keretanya sudah datang sayang!”
Kereta
commuter line tujuan Depok itu sudah padat, karena sudah terlalu jauh jarak
tempuhnya, dari Jatinegara, berputar melalui Pasar Senen, Tanah Abang, dan
Sudirman, jadi mau tidak mau Kandita harus menggenggam erat tangan Krishna. Dia
tidak ingin kehilangan tunangannya itu, jadi dia menggenggamnya erat-erat.
Krishna lalu membawa Kandita menelusup kerumunan penumpang di kereta itu, masuk
ke sisi kiri kereta, karena sisi kiri kereta dibuka hanya di stasiun Manggarai.
Di stasiun Tebet sampai Depok, pintu kereta sebelah kiri tidak akan dibuka,
kecuali dari stasiun Manggarai pintu memang sudah dibuka paksa oleh penumpang.
Krishna menaruh tasnya di tempat yang sudah tersedia, dan dia pun membantu Kandita
menaruh tas nya, kemudian mereka saling menatap, dan tersenyum, saling
meyakinkan satu sama lain dengan satu kedipan mata bahwa ‘akulah cintamu!’
Tangan
mereka tertaut dan seakan lengket satu sama lain, seperti pantograph dan kabel
Listrik Aliran Atas, jika terpisah, maka mereka tidak akan bisa menjalankan
fungsinya. Dengan tangan kirinya, Kandita dapat merasakan cincin tunangan
Krishna di jari manis tangan kirinya. Begitupun dengan Krishna yang dapat
merasakan cincin tunangan Kandita yang masih melingkar di jari manis tangan
kanannya. Sungguh indah apa yang dirasakan oleh Kandita dan Krishna saat itu.
penulis buku ini saja belum pernah mengetahui indahnya masa-masa berpacaran di
kereta.
Kandita
sudah memiliki Krishna, maka dia akan mencintainya dengan segala ketulusan
hati, kesanggupan jiwa dan kepenuhan raga. Tidak ada kebahagiaan lain yang
dirasakan Kandita saat itu selain dari respon yang disampaikan oleh Krishna,
memang Kandita tidak menyatakannya secara langsung, tapi feed back dari Krishna
lah yang membuatnya terhempas ke samudera cinta yang tidak terbatas. Terkapar
di padang rumput cinta yang dibawahnya mengalir sumber-sumber mata air pilihan
“Mbak, lagi dimana?” tanya Marsha dari
hand phone nya.
“Masih di kereta dik! Kenapa?”
“Nanti kalau pulang, aku mau titip
dong!”
“Titip apaan dik? Kamu ada-ada saja
sih!”
“Mie instant mbak! Ibu belum pulang nih!”
“Memang ibu kemana?”
“Kan ibu ke tempat budhe di Bandung!”
risau Marsha.
“Oh, ya sudah nanti ya!”
“Mbak masih jauh nggak? Sekarang sampai
dimana?”
“Baru masuk Tanjung Barat sih dik!”
“Ya sudah aku tunggu ya mbak!”
“Iya! Dani sudah tidur?”
“Belum! Masih main internet tuh!”
“Bilangin jangan terlalu banyak main
internet! Belajar yang bener!” kata Kandita.
“Iya, mbak! Nanti Marsha bilangin!”
“Ya sudah ya!”
Dan
mereka, Kandita dan Krishna kembali bertatapan, lalu tersenyum. Belum pernah
mereka merasakan kebahagiaan sebahagia itu. mereka tidak dapat menjelaskan apa
yang mereka rasakan, kehangatan, kemesraan, kekhawatiran, dan masih banyak lagi
hal-hal baik yang terjadi saat itu. dalam hal ini, penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya jika pendeskripsian tentang kemesraan Krishna dan Kandita di
kereta ini tidak dapat membuat pembaca membayangkan secara nyata, dikarenakan
penulis belum pernah mengalami apa yang dialami oleh Krishna dan Kandita.
“Kenapa?” tanya Krishna.
“Di rumah adik-adikku hanya berdua!
Bapak dan ibu lagi ke Bandung!”
“O, jadi gimana nih?”
“Aku akan masak untuk kita!” kata Kandita
dengan penuh kepastian.
“Oh, begitu! Berbahagialah orang yang
nanti akan menjadi suami kamu Kandita!”
“Dan berbahagialah kamu, karena kamu
yang menjadi suamiku!” kata Kandita menjawab perkataan Krishna.
Selamat datang di stasiun Citayam, agar
diperhatikan jalur satu akan segera masuk KRL Ekonomi tujuan Jakarta Kota. Bagi
penumpang yang baru turun dari kereta yang ada di jalur dua, harap jangan
menyeberangi jalur satu, akan segera masuk KRL ekonomi tujuan Jakarta Kota.
Jalur dua KRL commuter line tujuan Bogor, selesai naik turun penumpang, terima
aspek sinyal hijau AMAN silahkan berangkat!
Kandita
dan Krishna menjejakkan kakinya di peron tengah stasiun Citayam, masih ramai
petang itu. Situasi di stasiun itu bisa dikatakan PAMER SUSU alias Padat
Merayap Susul Susulan. Kandita dan Krishna tidak bisa bergerak kemana-mana,
peron tengah diisi penuh oleh penumpang yang akan pulang ke rumah mereka
masing-masing, dan di sebelah kiri dan kanan mereka ada kereta yang masih
menunggu lampu sinyal berwarna hijau, jadi Krishna memutuskan untuk menunggu disitu.
“Sudah, sudah agak sepi!” kata Kandita.
“Ya, kasihan adik-adikku!” kata
Krishna.
“Itu adikku Krishna!”
“Ya, nanti kan jadi adikku juga!”
gurau Krishna.
“Benar juga sih!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waktu
sudah menunjukkan jam delapan malam lewat sepuluh menit, Kandita yang belum
berganti baju masih ubek di dapur,
memasak untuk makan malam. Menu yang dimasak Kandita tidak terlalu istimewa,
tumis kangkung, ayam goreng yang mereka beli di pasar Citayam, dan kerupuk yang
dibeli oleh Marsha di warung yang tidak jauh dari rumahnya.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya
Krishna.
“Tolong carikan piring besar!”
pinta Kandita.
“Disini mas!” kata Marsha sambil
menunjukkan rak tempat penyimpanan piring-piring besar.
“Oh, iya dik!” singkat Krishna dan
langsung mengambil benda yang dimaksud.
Meja
makan di rumah Kandita berbentuk persegi panjang, berukuran kurang lebih satu
kali dua meter, dengan tinggi kira-kira seratus dua puluhan sentimeter. Di atas
meja makan itu sudah terhidang beragam jenis makanan yang sudah disebutkan.
“Ayo dik, makan duluan!” kata
Krishna sambil bergerak ke wastafel, ingin mencuci tangannya.
“Iya mas!” kata Dani yang
langsung mengambil piring dan nasi, serta lauk pauknya.
“Tadi sore kamu sudah makan dik?”
tanya Kandita.
“Sudah mbak! Tapi nggak kenyang!
Si Marsha nggak bisa masak sih!” ledek Dani.
“Manggilnya pakai mbak ya! Jangan
Marsha Marsha aja!” kesal Marsha sambil menjewer Dani.
“Sudah, sudah! Dimakan saja! Mbak
mu sudah masak enak nih!” kata Krishna yang baru kembali dari wastafel,
tangannya masih lembab oleh air yang digunakan untuk membersihkan tangannya.
“Dia juga sih mas!!” kesal
Marsha.
“Iya iya!! Sudah makan saja!
Nggak usah banyak ngomong!”
Marsha
serta Dani makan dengan lahapnya. Ibunya memang menyediakan sayuran mentah, dan
bahan-bahan makanan dirumahnya. Tapi Marsha dan Dani bahkan tidak tahu harus
diapakan sayuran itu. Ibunya telah memasak untuk makan siang, untuk makan malam
paling tidak, mereka harus menggantungkan diri kepada Kandita, karena baru Kandita
yang sudah dibekali kemampuan memasak.
“Mbak, jadwal kereta katanya
berubah semua ya?” tanya Marsha.
“Iya! Kenapa memangnya?”
“Justru aku nanya ke kamu mbak!”
gumam Marsha.
“Memang kenapa dik?” tanya
Krishna.
“Pengen tahu aja mas!”
“Kepo banget sih! Sudah cepat
makannya!”
Seusai
makan, Kandita langsung mencuci piring bekasnya makan, serta piring
adik-adiknya sekalian, dan piring tunangannya. Kandita merasa dia harus
melakukan itu semua, bukan untuk carmuk di depan calon suaminya. Mereka akan
menikah tahun depan, jika tidak ada halangan yang berarti, tapi jika banyak
halangan, mungkin akan lama jadinya. Halangan-halangan itu justru muncul
setelah mereka bertunangan. Kenapa begitu? Biar asik!
“Kamu besok ada di rumah nggak?”
tanya Kandita sambil masih menaruh piring-piring yang baru dicucinya di rak
piring.
“Kamu cantik kalau begitu!” kata
Krishna saat melihat Kandita dengan rambut diikat kebelakang, dengan beberapa
helai rambut yang jatuh menutupi wajahnya. Kemeja lengan panjangnya dilipat
selengan, dengan tangan yang masih berlumuran sabun. Apalagi, ketika pipinya
merona merah saat mendengar pujian dari tunangannya itu.
“kalau nggak begini, aku nggak
cantik?”
“Bukan begitu maksudku!!”
“Terus apa?” kata Kandita sambil
menatap Krishna dengan senyum dikulum.
“Kamu kenapa?” heran Krishna.
“Pertanyaan ku tadi belum kamu
jawab!!” kesalnya sambil menjewer Krishna.
“Aduh, iya iya! Aku ada di rumah
besok! Memangnya kenapa?”
“Kok kamu tanya begitu sih?”
heran Kandita sambil membersihkan tangannya. “Memangnya kamu doang yang bisa
main terus ke tempat calon mertua kamu? Aku ‘kan juga mau!” kini Kandita
mengeringkan tangannya dengan mengibaskannya, lalu menyeka di kemeja nya.
“Iya, boleh kok! Yang bilang
nggak boleh siapa?”
“Ya sudah! Besok aku akan ke
tempat kamu!”
“Mau ngapain?”
“Aku punya urusan sama calon
mertua ku!” kata Kandita sambil meninggalkan Krishna masuk ke kamarnya.
Malam
semakin larut, sudah jam setengah sepuluh, tapi belum ada kabar dari pak
Suyatno, dan istrinya. sementara Krishna sudah tidak bisa menahan kantuknya,
dan meletakkan kepalanya pada sandaran sofa ruang tamu rumah itu.
“Sudah, kamu pulang saja! Nggak
enak sama tetangga! Kita nih belum nikah!”
“Kamu yakin nggak kenapa-kenapa?”
“Yakin! Ada Dani, ada Marsha!”
“Ya sudahlah! Aku ijin pulang
dulu ya!” kata Krishna sambil mengecup kening Kandita.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pagi,
jam setengah enam. Kandita sudah berada di depan rumah Krishna, bu Suroto, ibu
nya Krishna sudah membukakan pintu untuk Kandita dan Marsha yang pagi itu sudah
selesai berolahraga, dengan t-shirt berwarna merah jambu, dan Kandita memakai
t-shirt dengan warna abu-abu. Terlihat jelas mereka sudah melakukan kegiatan
olah raga rutin mingguannya, keringat membasahi t-shirt mereka, hingga tercetak
jelas tali bra yang ada di punggung mereka.
“Eh, ada Marsha juga tho!” kata
bu Suroto sambil mempersilahkan mereka untuk masuk.
“Mas Krish kemana budhe?” tanya
Marsha.
“Mas mu masih tidur tuh!” kata bu
Suroto sambil menunjuk kamar Krishna.
“Bapak dines bu?” tanya Kandita.
“Iya, sebentar lagi juga pulang
kayaknya!”
“Itu di depan ada tetangga baru
bu?”
“Oh, iya kayaknya! Baru datang
pagi ini kok!”
“Lalu, aku harus bantu ibu masak
apa nih?” tanya Kandita.
“Sayur sop, dan bakwan jagung!
Kamu bisa ‘kan?”
“Bisa bu!”
“Terus, Marsha ngapain budhe?”
tanya Marsha.
“Kamu nanti bantu budhe cuci
piring ya!”
“Siap budhe!”
“Ya sudah!”
Kandita
mulai tugasnya dengan menghaluskan bumbu-bumbu untuk sop. Bawang merah, bawang
putih, lada, ketumbar, garam, vetsin, kemudian bumbu yang sudah dihaluskan itu
ditumis, sementara kuah kaldu sudah siap untuk dimasukkan sayuran dan bumbu
yang sudah ditumis tadi. Cukup mudah melakukan semua itu, karena Kandita biasa
membantu ibunya memasak sayur sop untuk makan sekeluarga. Sejak lulus Sekolah
Menengah Atas, Kandita diajarkan hal-hal itu oleh ibunya.
“Sudah, bu! Tinggal tunggu matang
nya saja!” kata Kandita dengan ribuan peluh di keningnya.
Dan
tiba-tiba Kandita kembali merasakan lembut jemari tangan Krishna mendarat di
keningnya, menyeka ribuan peluh yang membasah di keningnya. Pipinya merona
merah setelah mendapat tatapan lembut Krishna. ‘Tuhan, aku harap Krishna lah
yang cocok menjadi bapak dari anak-anak yang nanti akan Kau titipkan kepadaku’.
Kata Kandita dalam hatinya.
“Ih, malu tau
sama ibu!” kata Kandita sambil meraih tangan Krishna dan tidak ingin
melepaskannya.
“Kalian sudah tentukan
hari baik dan bulan baiknya?” kata bu Suroto pura-pura tidak tahu apa yang sedang
terjadi.
“Belum bu!” kata
Kandita tersipu.
Pagi
itu, jarum jam di ruang tamu rumah Krishna berada di antara angka enam dan
tujuh. Sarapan sudah disiapkan oleh Kandita, dan calon ibu mertuanya. Mereka
sudah saling mengenal. Jdi kemungkinan ada gesekan-gesekan antara mertua dan
menantu sangatlah sedikit.
“Sudah, sarapan dulu! Bapak
pulangnya masih nanti siang!”
“Ya, mari bu! Saya panggil
Krishna dulu bu, di depan!” kata Kandita sambil berjalan menuju teras rumah
itu.
“Kamu sudah bilang ibu mu ‘kan?”
tanya bu Suroto kepada Marsha
“Iya budhe! Sudah!”
“Hm, baguslah!”
Di
teras rumah itu, Kandita masih memandangi calon suaminya, calon bapak dari
anak-anaknya, dia masih berdiri disamping Krishna, menghirup sejuknya udara
pagi.
“Kamu tadi dari mana?” tanya
Krishna.
“Dari rumah!” dan mereka diam,
merasakan satu sama lain.
“Kamu nggak nolongin tuh tetangga
baru kamu?” tanya Kandita.
“Pertanyaan ini timbul dari dalam
diri kamu, atau dari orang lain?” tanya Krishna.
“Kamu ditanya kok bales tanya
sih??” kesal Kandita.
“Dia tidak meminta, jadi dia
tidak akan menerima!”
“Kenapa begitu?”
“Karena jika kamu meminta, kamu
akan diberi. Jika kamu mencari, maka kamu akan mendapatkan. Dan jika kamu
mengetuk, maka pintu pasti tebuka untuk kamu!” kata Krishna.
“Hhh, susah ngomong sama kamu! Sarapan
dulu yuk!” ajak Kandita.
“Iya!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masih
terlihat kesibukan di samping rumah tetangga yang berada tepat di depan kiri
rumah Krishna, siapakah tetangga baru Krishna? Kandita hanya menyimpan beribu
pertanyaan itu didalam hatinya. Sudah jam setengah sepuluh, pagi itu. Dan
Krishna baru keluar dari kamar mandi, selesai mandi. Kemudian duduk disamping Kandita,
di teras rumah itu. Mereka sudah menyusun rencana untuk pergi jalan-jalan siang
itu. Melihat pemandangan alam, destinasi wisatanya adalah Bogor Botanical Garden. Satu hal yang membuat Kandita ingin
mengunjungi tempat itu adalah keheningannya, jauh dari hiruk-pikuk kota Jakarta.
Meski letaknya di pusat kota Bogor, tempat itu memiliki aroma mistik yang
kental bagi sebagian orang.
“Assalamualaikum! Selamat pagi!”
seseorang menyampaikan salam masuk di depan rumah Krishna.
“Waalaikumsallam! Ya, mas! Ada
yang bisa dibantu?”
“Saya Yusuf mas, orang baru
disini!”
“Oh, ya! Mari silakan masuk dulu
mas! Mari, silakan duduk!” kata Krishna yang belum mengetahui siapakah Yusuf
sebenarnya.
“Ada yang bisa dibantu mas?”
tanya Krishna ramah.
“Saya ingin bertemu pak RT
disini!”
“Oh, beliau memang sedang pergi!
Setiap hari Sabtu minggu ke dua!”
“Maaf, dengan mas siapa?” tanya
Yusuf ramah.
“Saya, Krishna! dan ini Kandita,
tunangan saya!”
“Sudah lama tinggal disini mas?”
“Ini sih tempat orangtua saya
mas! Kebetulan saya belum menikah, jadi saya belum boleh tinggal serumah dengan
Kandita!”
“Iya mas! Bisa repot urusannya!”
“Mas, mau minum apa? Teh ya!”
Krishna menawarkan kepada tamunya itu.
“Nggak usah repot-repot mas!”
“Dik, tolong siapkan teh!” kata Kandita
kepada Marsha yang langsung masuk ke ruang tamu dan membiarkan Krishna dan
Yusuf berbincang.
“Mas tinggal disini dengan?”
tanya Krishna.
“Istri saya mas! Kebetulan saya
baru menikah tiga bulan yang lalu!”
Pembicaraan
itu terhenti ketika Marsha, membawakan tiga cangkir teh manis untuk Krishna,
Yusuf dan pak Suroto yang baru pulang berdinas. Pak Suroto pun keluar dan ikut
serta berbincang dengan mereka. Di lingkungan itu, pak Suroto adalah orang
tertua dan paling dituakan. Yusuf tidak mengetahui hal itu, hanya karena pintu
rumah pak Suroto lah yang terbuka, jadi Yusuf mengunjungi rumah itu.
“Mas, ini bapak saya! Dan ini
adiknya Kandita! Kebetulan tadi mereka berolahraga, dan mampir kesini!”
“Maaf, dengan mas siapa?” tanya
pak Suroto.
“Yusuf, pak!”
“Saya Suroto! Selamat datang, di
perumahan ini, semoga mas Yusuf kerasan
tinggal disini!”
“iya pak! Terima kasih
sambutannya!”
“Sama-sama! Mari, silahkan
diminum!” kata pak Suroto. Dan keluarga pak Suroto lah yang menjadi keluarga
pertama yang dikenal oleh Yusuf.
“Mas Yusuf ini kerja di bidang
apa sih?” tanya Krishna.
“Pertambangan! Aspal!”
“Pulau Buton ya?”
“Ya, setiap minggu terakhir, saya
harus kesana!”
“Wah, hebat juga!”
“Sebentar, bapak masuk dulu ya!
Kalian lanjut saja ngobrolnya!” kata pak Suroto memohon diri. Tak lama setelah
pak Suroto masuk, Kandita keluar, menemani Krishna berbincang dengan Yusuf.
“Kayaknya kita seumuran ya?”
tanya Yusuf.
“Sepertinya begitu!” kata
Krishna.
“Sudah, panggil gue Ucup saja!”
kata Yusuf.
“Iya cup!” sahut Krishna.
Pertemuan
pertama mereka itu membawa mereka kepada situasi kekeluargaan yang hangat,
meski baru beberapa menit mengenal, mereka sudah dapat merasakan suatu ikatan
bathin yang semakin erat, meski mereka tidak mengetahui kenapa dan bagaimana
itu terjadi. Dan Yusuf pun memohon diri untuk kembali membereskan rumahnya, dan
berjanji akan mengajak serta istrinya, dan memperkenalkan kepada pak Suroto
yang baginya sudah merupakan orangtua ke-empat, setelah bapak kandungnya,
guru-gurunya, dan mertuanya.
“Gelas kamu yang mana?” tanya Kandita.
“Ini!” kata Krishna sambil
memberikan gelasnya, dan Kandita pun meminum teh yang belum diminum oleh
Krishna.
“Tadi ngomongin apaan aja?” tanya
Kandita.
“Banyak! Kerjaannya dia,
lingkungan disini!”
“Dia sudah menikah?”
“Kamu cemburu kalau aku ngobrol
sama dia? Sayang, aku masih normal!” gurau Krishna.
“Bukan begitu!” gemas Kandita.
Sejak mengetahui kalau Krishna punya tetangga baru, ada yang mengganjal di hati
Kandita, sebuah kegelisahan yang Kandita juga tidak tahu dari mana asalnya.
“Iya, dia sudah menikah kok!”
“Terus, kita kapan?” tanya Kandita.
“Besok!” gurau Krishna.
“Kamu bercanda terus ih!” keluh Kandita.
“Iya iya! Kamu sudah punya
hatiku! Kenapa kamu takut kehilangan aku?”
“Begitu ya!”
“Lagipula, kita ‘kan belum mulai
KPP” (Kursus Persiapan Perkawinan)
“Mangkanya, cepat daftar!”
“Kamu pasti sudah nggak sabar
ya!” Selidik Krishna “Mangkanya jangan sering nonton film bokep!!” gurau Krishna.
“Mulai deh! Aku juga dapat film
itu dari kamu! Sudahlah, aku mau mandi dulu!”
“Mandi dimana?”
“Di kamar mandi lah! Masa di
depan rumah kamu!” kata Kandita datar “Baju ku masih ada di tempat kamu ‘kan?”
tanya Kandita.
“Iya! Di kamar ku!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kandita
sudah terlihat cantik dengan sackdress
batik yang dititipkannya di lemari Krishna, Sabtu siang itu Krishna mengajak Kandita
untuk plesiran alias jalan-jalan, yang jelas bukan nonton wayang, bukan juga
nonton film G30S/PKI, apalagi film Kereta Api Terakhir, bukan juga film Janur Kuning, atau film perjuangan
lainnya. Memangnya penulis buku Seuntai
Harapan Di Ujung Waktu? Ngajak gebetannya nonton wayang semalam suntuk, ya
sudah pasti gebetannya il feel sama
dia. Hal itu disebabkan kurangnya pergaulan dari penulis. Ibunya adalah seorang
konservatif, meski bapaknya seorang yang observatif tetap saja ibunya yang
mengambil keputusan, jadi penulis buku itu hanya tahu film-film tersebut.
“Dik, nanti kamu pulang dijemput
Dani ya!” kata Kandita kepada Marsha yang masih asik bermain handphone nya.
“Kok buru-buru sih? Mbok yo biar main disini sebentar gitu
lho!” kata bu Suroto.
“Nanti malah bikin repot disini
bu!”
“Nggak! Nggak kenapa-kenapa kok!
Sudah lama ibu nggak lihat anak kecil!”
“Anak kecil? Budhe please deh! Aku ini sudah mahasiswi!”
kata Marsha.
“Tuh, dik, dengerin! Kamu masih
kecil! Jadi nurut sama orangtua!” ledek Kandita.
“Pak, bu! Krishna berangkat
dulu!” Krishna memohon ijin kepada dua orangtuanya itu, diikuti oleh Kandita.
“Ya, ati-ati di jalan ya!” kata
pak Suroto.
“Iya pak!” kata Kandita.
“Krish, kemana nih?” sapa Yusuf
dari depan rumahnya.
“Cup, cabut dulu nih! malam mingguan!”
kata Krishna.
Krishna
lalu mengendarai motornya. Mereka akan jalan-jalan, ya tempat wisata, nggak
jauh-jauh. Kebun Raya Bogor, sekalian refreshing. Krishna memacu motornya
melewati jalan Karadenan, karena jika mengikuti rel kereta jalannya terlalu
sempit dan membahayakan. Kecepatan motornya masih di batas normal, lima puluh
kilo meter per jam, tapi kenapa Kandita seperti takut terlempar dari motor
Krishna? kenapa Kandita memeluk pinggang Krishna erat-erat? Ah, penulis buku Serangkai Kereta Menuju Stasiun Terakhir
saja belum pernah merasakan hal ini, maklum dia belum punya motor jadi penulis Sekuntum Cinta Di Tengah Dusta tidak
berani melangkahi seniornya untuk mengeksplanasikan kenikmatan ini. Bukan
apa-apa, karena penulis kedua buku itu adalah orang yang sama.
“Naik motor capek juga ya!” keluh
Krishna.
“Itu karena kamu jarang naik
motor!” kata Kandita sambil menaruh helm nya di jok motor Krishna.
“Siapa bilang, bukannya setiap
hari aku sudah naik motor?”
“Iya, tapi ‘kan nggak sejauh ini
sayang!”
“Apa?”
“Iya, kamu ‘kan naik motor nggak
sejauh ini!”
“Bukan! Tadi kamu manggil aku
apa?”
“Kenapa sih memangnya?” gusar Kandita.
“Nggak, aku juga sayang sama
kamu!”
“Ciyus? Miapah?” gurau Kandita.
Kebun
Raya Bogor sudah jauh berbeda keadaannya dari beberapa bulan yang lalu. Sudah
banyak perbaikan disana-sini, di pinggir tempat wisata itu masih terdengar
jelas deru kendaraan bermotor di sekitar jalan yang ada di Kebun Raya. Suara
binatang liar masih terdengar jelas di balik rimbunnya pepohonan, semilir angin
yang menggerakkan pohon-pohon itu mendesir menyentuh lembut tangan Kandita dan
Krishna, dengan pasti Krishna meraih telapak tangan Kandita, dan menggenggamnya
dengan lembut. Kandita terbuai dengan itu.
“Aku tunanganmu ‘kan?” tanya
Krishna, dan Kandita semakin mengeratkan genggaman tangannya di tangan Krishna.
Dari
pintu masuk kebun raya Bogor, mereka mengikuti jalan beraspal ke arah timur,
terdengar jelas deras air yang mengalir di sungai Ciliwung, yang memiliki pusat di bendungan
Katulampa.
“Kalau kita naik perahu dari
sini, bisa sampai Manggarai nih!” kata Krishna.
“Ah, yang bener kamu?”
“Bener! Kamu nggak percaya! Coba
saja!” gurau Krishna.
“Iya, terserah kamu deh!”
“Kamu sudah lapar belum?” tanya
Krishna.
“Aduh, aku lagi diet tau. Nanti
baju pengantin ku kekecilan ‘kan nggak enak!”
“Justru gendut itu seksi lho!”
“Ih, kamu ini!” katanya gemas,
dengan mencubit telapak tangan Krishna dengan tangannya yang masih melekat di
telapak tangan tunangannya itu.
“Kenapa kamu ngajak aku kesini?”
tanya Kandita.
“Kamu nggak suka? Kita pulang aja
yuk!”ajak Krishna.
“Bukan begitu maksudku!”
“Terus apa?”
“ya aku mau tau aja motivasi kamu
ngajak aku kesini!”
“Kamu kayak apaan aja sih?”
“Terakhir kamu kesini kapan?”
tanya Kandita.
“Kira-kira setahun lalu, sebelum
Tania tunangan dan menikah!”
“Hm, jadi kamu ngajak aku kesini
untuk mengenang apa yang kamu lakukan dengan Tania?”
“Memangnya aku ngelakuin apa?”
“Ya nggak tahu! Lha wong kamu yang jalan sama Tania!”
“Kamu dan Tania tuh punya
kemiripan!”
“Kemiripan apa? Jelas-jelas
cantikan aku!”
“Iya-iya! Kamu lebih cantik! Tapi
kalian sama-sama kerja di Jakarta, dan nggak tahu ketenangan seperti ini!” sejenak
Kandita mencerna perkataan tunangannya itu dan merasakan hawa sejuk
disekitarnya.
Belum
pernah Kandita merasakan sedamai ini, tanpa bayang-bayang takut ketinggalan
kereta, tanpa takut kecopetan, tanpa takut kehilangan tunangannya. Dan suara
dedaunan yang ditiup angin seakan bersahutan dengan suara deru air yang
mengalir di sungai Ciliwung yang selama dua hari kemarin diterpa hujan deras,
bebatuan di sungai Ciliwung sudah tidak terlihat, ditelan air yang melebihi
ambang batas normal.
Sampai
pada satu tempat duduk, dibawah dua pohon besar yang berhimpitan satu sama
lain, letaknya tidak jauh dari petilasan Nyimas Ratu Galuh, istri dari Prabu
Siliwangi, raja kerajaan Pajajaran yang terkenal dengan ilmu halimunan nya. Di
tempat itu, Kandita menyandarkan kepalanya di bahu Krishna tanpa mau melepas
genggaman tangannya. Satu kecupan dari Krishna belum membuat Kandita terkejut,
dia malah memejamkan matanya dan menyampaikan keluhannya kepada tunangannya
itu.
“Aku ngantuk!” dan Krishna
membiarkan Kandita meletakkan kepala di pangkuan nya.
Jika
seseorang sulit untuk memulai kisah cintanya, maka orang tersebut akan sulit
untuk mengakhirinya. Apakah benar? Apakah hipotesis itu akan terjadi didalam
hubungan Krishna dan Kandita? Apakah kenyataan yang dialami oleh Krishna dan Kandita
berjalan selaras dengan hipotesis itu? Jika selaras, maka tidak ada masalah di
hubungan mereka, tapi kalau tidak selaras, inilah yang harus diteliti.
Suara
dedaunan masih bergesekan ditiup angin, dan suara air di sungai Ciliwung masih
seperti beberapa menit yang lalu. Krishna terpana memandangi wajah Kandita, dia
mendekatkan wajahnya ke wajah tunangannya yang sedang terlelap di pangkuannya,
dekat, semakin dekat, bibir mereka hampir bersentuhan. Sebenarnya, Krishna
ingin memberikan kejutan bagi Kandita yang sedang tertidur di pangkuannya,
paling tidak sampai setetes air hujan jatuh ke tangan Kandita yang terlipat
rapih di perutnya. Kandita membuka matanya dan tidak bisa menyembunyikan
perasaannya ketika mata mereka terletak pada satu garis lurus, gugup. Akhirnya Kandita
memutuskan untuk memejamkan matanya lagi, dan membiarkan Krishna mencium dengan
caranya, tapi apa yang diharapkan Kandita belum terjadi.
“Kenapa kamu bangun?” tanya
Krishna.
“Memang nggak boleh ya?” kata Kandita
sambil memejamkan matanya.
“Aku ‘kan mau bikin kejutan untuk
kamu!”
“Kejutan apa?”
“Pertanyaanku tadi saja kamu
belum jawab!”
“Iya, aku kira sudah mau hujan!” Kandita
masih belum membuka matanya. Ayo Krishna, lakukanlah! Ini moment yang tepat!
Hujan, tolong jangan hancurkan kesempatan ini! Dan harapan Kandita benar
terkabul. Dia merasakan lembut bibir Krishna tertaut di bibirnya, ditengah
rinai gerimis yang semakin deras, membuat ciuman mereka semakin panas, liar
seliar air di sungai Ciliwung yang mengalir sampai ke Jakarta. Mulai dari
sentuhan, kecupan, dan sekarang ciuman itu berubah menjadi lumatan-lumatan yang
semakin panas, lidah berpilinan dan gigi yang saling beradu, membuat cinta
diantara mereka mulai bermetamorfosis menjadi nafsu, jika tidak di tempat umum
kemungkinan besar ciuman itu akan berubah ke tingkat yang lebih tinggi. Krishna
segera menghentikan itu, meski berat baginya.
Kandita
merasakan sesuatu hilang ketika bibir mereka terlepas, hanya satu yang dia
miliki, yaitu tatapan Krishna yang seolah-olah mengatakan ‘aku akan
memberikanmu cinta yang lebih dari ini!’ dan dia yakin akan itu. Mereka masih
terbawa deras arus sungai cinta, paling tidak sampai Kandita sadar bahwa rinai
gerimis semakin deras.
“Ayo, sayang! Gerimisnya makin
deras!” kata Kandita sambil meraih tangan Krishna dan berlari di sepanjang
jalan yang ada di kebun raya Bogor, dibawah rintik gerimis yang mulai deras,
setiap detik, air yang tercurah semakin deras. Seperti cinta mereka yang
semakin besar. Sampai di museum zoologi, mereka duduk berdampingan, jantung
mereka berdetak keras entah karena mereka berlari atau mungkin karena ciuman
mereka yang membakar gairah, tangan mereka masih tidak mau lepas satu sama lain
dan mereka merasakan kehangatan di tengah hujan kota Bogor.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah
jam tujuh, malam itu malam sabtu,
waktunya orang berpacaran. Kandita memutuskan untuk pulang ke rumah orangtua
Krishna, untuk mandi dan berganti pakaian, sackdress nya sudah basah enam puluh persen, bergegas Krishna memasukkan
motornya ke teras rumah bapaknya itu, dan menebak bahwa tamu yang datang adalah Yusuf.
Tebakan Krishna tidak salah, memang Yusuf yang bertamu malam itu, serta
istrinya.
“Nah, ini Krishna! putera tunggal
kami! Dan Kandita, tunangannya!” bu Suroto memperkenalkan anak dan calon
istrinya itu kepada Yusuf dan istrinya.
Apa
yang dirasakan Kandita tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh
tunangannya itu, tercekat, seperti baru disambar petir. Mereka masih meyakinkan
peralatan jasmaninya bahwa bukan dialah orang yang dilihatnya malam itu.
“Ta-ni-a” kata Krishna terbata.
“Hai, Krishna! Kandita! Apa
kabar! Nggak nyangka ya kita bisa tetanggaan!”
“Kalian sudah saling kenal?”
heran Yusuf, pak Suroto dan bu Suroto.
“Ya, kami lebih dari sekedar
kenal!” kata Kandita kepada bu Suroto “Bu, mau ijin ke kamar mandi!”
“Iya ndhuk! Handuk mu masih di tempat jemuran ya!”
“Ya, bu! Terima kasih!” kata Kandita
datar.
Krishna
lalu mengikuti Kandita ke tempat dimana keluarga itu biasa mengeringkan handuk,
bahasa bekennya tuh di teder yaitu
direntangkan biasanya di tempat panas untuk mempercepat proses pengeringan. Dia
masih memandangi Kandita yang seolah-olah tidak menyukai kehadiran Tania di
kehidupan mereka.
“Bagus dong! Tetanggaan sama
mantan gebetan!” sindir Kandita.
“Kamu apaan sih! Lagipula dia
sudah punya suami!”
“Lhoh kenapa? dia makin cantik
lho! Dulu nggak begini ‘kan?” sejak menikah, Tania lebih sering berdandan,
untuk suaminya tentu saja. Jadi dia terlihat cantik dimata suaminya.
“Kamu kok jadi begini sih?”
“Oh, iya suaminya dia kan setiap
minggu ke berapa gitu pergi ke Buton, selama seminggu!! Jadi, selama seminggu
dia menjanda!” sindir Kandita yang langsung masuk ke kamar mandi dan membilas
tubuhnya. Jadi ini yang menjadi ganjalan Kandita sedari tadi pagi. Krishna
menjadi tetangga Tania yang adalah istri Yusuf. Yang jadi pikiran Kandita saat
Krishna mengatakan bahwa Yusuf harus pergi ke Buton setiap minggu ke-tiga,
adalah istrinya. Secara otomatis Yusuf akan meninggalkan istrinya dan istrinya
itu adalah Tania. Lalu, lalu, …..
Sebenarnya
Kandita tidak terlalu memikirkan apakah Tania yang menjadi tetangga Krishna. Dia
hanya ingin memberi Krishna sebuah pelajaran, meski Krishna belum pantas untuk
mendapatkan pelajaran itu, karena Krishna adalah tipe orang yang akan bertahan
pada satu cinta, menurut Kandita lho ya. Kandita memang seorang yang pandai
dalam memanipulasi perasaannya, di depan mata Krishna, dia pura-pura cemburu,
dia ingin mengetahui sejauh mana kesetiaan Krishna kepada dirinya, dia ingin
mengetahui sejauh mana Krishna berusaha untuk mengembalikan rasa cinta Kandita
kepadanya.
“Ya sudah! Kamu pulang saja! Aku
bisa sendiri kok!”
“Kandita, kamu kenapa?” heran
Krishna.
“Aku nggak kenapa-kenapa sayang!”
kata Kandita meyakinkan.
“Ya sudah aku pulang ya!” kata
Krishna.
“Ada yang ketinggalan!” kata Kandita sambil memajukan keningnya, dan dengan mesra, sebuah kecupan hangat mendarat di kening Kandita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar